Oleh: Salman Rusydie Anwar (kontributor)

Suatu siang saya mengajak anak laki-laki pertama saya berbincang-bincang seputar kegiatan yang ia lakukan selama di pondok. Ia menjelaskan bermacam kegiatan yang diikutinya mulai dari menghafal kitab, menyalin kitab, menghafal beberapa surat dalam Al-Qur’an sampai dengan kegiatan bergadangnya yang penuh kekonyolan sebagaimana sudah menjadi hal biasa bagi kaum santri.

“Lalu apa cita-citamu?” tanya saya. Saya merasa perlu mengajukan pertanyaan itu sebab sepanjang yang saya sendiri ketahui, dia memiliki beberapa potensi keterampilan seperti menggambar, menulis cerita pendek, membuat review buku. Dan secara akademik dia memiliki kesukaan pada ilmu pengetahuan alam.

“Investor!” jawabnya.

Saya agak terkejut mendengar jawabannya. Sebab sebelumnya dia pernah mengutarakan beberapa cita-citanya mulai dari keinginannya menjadi gamer profesional dan programmer. Tapi bagi anak yang baru duduk di kelas pertama sekolah lanjutan tingkat pertama, barangkali berganti keinginan itu adalah sesuatu yang wajar. Sebab –mungkin- keinginan itu yang berganti-ganti itu dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman baru yang ia dapatkan di lingkungan belajarnya, termasuk pengalaman berinteraksi dengan orang-orang baru di sekitarnya.

“Bagus. Tidak masalah, tapi ada syaratnya,” jawab saya.

“Apa syaratnya?”

“Sebelum kamu tahu syaratnya. Dengarkan ayah mau cerita,” kata saya. Maka berceritalah saya tentang tema pengajian yang saya sampaikan dalam kegiatan tadarus Al-Qur’an yang biasa dilaksanakan setiap minggu sekali di kampung. Dalam suatu pengajian, di hadapan para peserta tadarus, saya menyampaikan bahwa sebagai orangtua, hendaknya para orangtua memiliki keinginan terhadap anak-anaknya dengan standar yang ringan-ringan saja.

Misalnya, orangtua perlu menegaskan kepada anak-anaknya bahwa sebagai orangtua, kita tidak akan mempersoalkan profesi yang akan ditekuni oleh anak kelak selama profesi itu benar dan diperbolehkan menurut aturan hukum agama. Orangtua juga perlu menyampaikan kepada anak bahwa yang paling akan membuat orangtua senang dan bahagia tidak lain adalah ketika anak-anaknya masih mau melaksanakan salat, rukuk dan sujud kepada Allah Swt dengan profesi apa pun yang ia jalani.

Dengan menjadikan salat sebagai standar utama yang harus terus dilakukan anak agar membahagiakan hati kedua orangtuanya, maka harapannya anak tidak akan merasa tertekan, canggung dan malu menjalani profesinya. Anak akan berkata, “Orangtuaku tidak akan malu meskipun setelah lulus nanti aku tidak jadi pejabat, pengusaha hebat, atau orang kaya asalkan yang penting aku harus tetap salat.” Dan seandainya anak nantinya menjadi orang hebat, jadi orang sukses, maka kebahagiaan orangtua bukan karena kehebatan dan kesuksesannya melainkan tetap karena salatnya.

“Dari cerita pengajian itu, kamu tahu apa syaratnya?” pancing saya.

“Salat!”

“Ya. Kamu mau jadi investor, boleh, bagus. Tapi bukan karena investornya itu yang akan membuat ayah dan bundamu senang dan bahagia, melainkan karena kamu masih mau melaksanakan salat. Sebab kakek-nenekmu di Madura sana dan juga di sini, juga ayah dan bundamu selama ini salat. Jadi semuanya punya tradisi salat yang harus terus dipertahankan oleh kamu. Entah kamu nantinya jadi investor, programmer, game profesional atau apa saja yang penting benar, baik, halal,” kata saya.

Ia mengangguk-angguk kecil, menyisakan desiran kegembiraan yang memenuhi ruang dadaku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *