Oleh: Salman Rusydie Anwar

Haryono Madwierdja adalah kata lain dari kegembiraan, keceriaan, kejenakaan dan kemerdekaan. Mungkin saya agak berlebihan tentang itu tetapi begitulah pandangan saya secara personal terhadap sosok yang menurut saya cukup pandai mengelola emosi dan kemarahannya ini. Tahun 2020 adalah untuk pertamakalinya saya mengenal beliau saat diterima sebagai guru di MAN 4 Kebumen.

Pada sesi perkenalan, dalam suasana pandemi kala itu, ia memperkenalkan diri dengan cara yang sama sekali berbeda dengan yang lainnya. Ia memperkenalkan diri tanpa sikap yang formal sebagaimana biasanya dilakukan oleh dua orang yang baru pertamakali bertemu dan berkenalan. “Berapa lama jualan sate, Cak Madura?” itulah pertanyaan pertama yang dia lontarkan sambil tertawa ngakak.

Bagi orang lain sikap seperti itu mungkin dianggap kurang etis. Tetapi dari cara dia bertanya, cara dia tertawa, feeling saya seakan langsung berkata, “ini tipe teman gue banget.” Maka ketika mulai dibagi penempatan tempat duduk, saya langsung memilih lokasi yang berdempatan dengannya dan sejak saat itulah chemistry kami dengan cepat terbangun seperti dua sahabat lama yang sudah bertahun-tahun tak berjumpa.

Sebagai guru baru, tentu saya masih kaku dan malu-malu dalam berinteraksi dengan guru-guru yang lain kala itu. Tetapi Mbah Har (begitu saya memanggilnya sebagai bentuk rasa hormat saya kepadanya) selalu mampu mencairkan perasaan saya. Masih lekat dalam ingatan saya saat seorang guru membawa makanan; tempe gembus dan oyek. Karena masih malu-malu saya diam duduk saja meski dipersilahkan dan Mbah Har mengambilkannya untuk saya.

“Jangan malu-malu Cak. Nih, makan. Di Madura tidak ada makanan seperti ini,” kurang lebih begitu yang dia katakan.

Waktu terus berjalan. Komunikasi dan kedekatan kami semakin terbangun. Ketika pembelajaran daring mengharuskan para guru mengajar menggunakan e-learning, Mbah Harlah yang memberikan bimbingan kepada saya bagaimana mengoperasikan aplikasi itu sampai saya paham.

Pada suatu hari, dia memperlihatkan layar ponselnya di mana di sana ada foto saya dan cover buku yang pernah saya tulis. “Cak, ini bener rika?” tanyanya. Saya mengangguk dan dia geleng-geleng kepala sambil memberikan pujian. Dan sejak saat itu dia memberikan akses kepada saya untuk membantunya mengisi tulisan-tulisan di website madrasah yang dia sendiri sebagai adminnya. “Madrasah membutuhkan anda untuk ini cak. Beruntung madrasah menerima anda ya sehingga keterampilan anda bisa bermanfaat. Kalau tidak anda bisa-bisa jualan sate,” katanya sambil tertawa ngakak.

Dua tahun berjalan, dan pada suatu sore, saat saya sedang bersantai di teras rumah, tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah yang ternyata itu Mbah Har. “Saya dari Kebumen mampir ini biar tahu rumahmu,” katanya. Dia mendekati rak buku perpustakaan pribadi saya dan mengambil sebuah buku kumpulan esainya Emha Ainun Nadjib. Dari situ saya semakin memahami bagaimana jalan pikiran Mbah Har dengan cara dia memilih buku di situ.

“Banyak sekali buku-bukunya Cak Nun, Cak,” katanya.

“Iya dong, Pak. Soalnya skripsi saya membahas pemikiran dia,” jawab saya.

“Luar biasa. Tapi saya khawatir lama-lama anda ikut mbeling kayak Cak Nun,” katanya lagi sambil ngakak.

Banyak hal yang kami obrolkan sore itu sampai kemudian kami berkomitmen membuat saluran komunikasi audio visual meski dengan alat seadaanya. Maka lahirlah podcast dan lalu penamaan studio Maen TV. Kebersamaan kami dalam acara-acara podcast semakin menguatkan ikatan batin pertemanan saya dengan Mbah Har. Gayanya yang santai sangat cocok dengan tipe saya yang juga tidak terlalu suka dengan hal-hal formal dan kaku. Celetukan dan pemikirannya yang kadang liar dan di luar dugaan sangat pas dengan kegemaran saya pada ide-ide konyol.

Keinginan Mbah Har membuat podcast sepertinya memang cukup kuat kala itu meski dengan alat seadanya. Termasuk membuat video kegiatan-kegiatan di madrasah meski kadang waktu dan tenaganya habis terkuras dengan kesibukannya mengajar. Karena itu dia menawarkan diri untuk mengajari saya membuat dan mengedit video dan meminta saya datang ke rumahnya. Itulah kali pertama saya tahu rumah beliau.

Saya masih ingat saat saya di rumah beliau untuk belajar ngedit, dia dengan lantangnya berkata, “Saya hanya butuh waktu lima menit untuk mengajari anda ilmu ini. Kalau dalam waktu lima menit anda tidak bisa, itu artinya anda bodoh!” katanya sambil misem dan mengangguk-anggukkan kepala. Dan benar saja, dalam waktu lima menit, saya bisa dikatakan memahami fungsi dari setiap komponan dalam aplikasi untuk mengedit sebuah video.

Ruang UKS lama yang sempit menjadi saksi sejarah bagaimana saya dengan Mbah Har menjadi kian ‘tak terpisah’. Bisa dikatakan, saat di madrasah, di mana ada Mbah Har di situ ada saya. Kebersamaan kami semakin erat manakala terjadi pergantian kepala madrasah dari Pak Sunaryo ke Pak Siswanto. Dengan program madrasah digitalnya, Pak Siswanto memberikan kepercayaan kepada Mbah Har untuk membuat video profil MAN 4 Kebumen dengan madrasah digitalnya.

“Saya butuh pembantu untuk membuat narasi dan pengisi suaranya. Dan ini cocoknya dikasih ke Cak Ros,” usulnya kepada Pak Siswanto. Saya menyanggupi dan hampir semalam suntuk kami berdua membuat konten profil madrasah digital di teras belakang rumah beliau dengan hasil yang cukup memuaskan. Dari sana kebersamaan dan kedekatan kami semakin kuat.

Sampai pada akhirnya saya memilih jalan lain yang mengharuskan saya berpisah dengan Mbah Har. Beliau masih di madrasah, saya di desa. Sebagian guru mungkin menduga kami benar-benar putus komunikasi dengan Mbah Har sebagaimana komunikasi saya dengan para guru yang lain. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Meski saya tidak lagi di madrasah, Mbah Har tetap meminta saya membantu mengisi website madrasah dan memberikan akses sehingga saya tetap bisa login. Bahkan di sana saya dibuatkan kolom khusus berupa rubrik artikel dan sastra sebagai dua hal yang menjadi passion saya selama ini.

Tak hanya itu, seringkali dia yang video call saya atau sebaliknya saya video call beliau. Seringkali dia memantik diskusi via Whatsap dengan isu-isu yang beragam mulai dari masalah sejarah, agama, politik sampai dengan filsafat. Seringkali dia meminta saya datang ke rumahnya saat dia sendirian di sana dan seringkali pula dia sendiri yang datang ke rumah saya meski hanya dalam hitungan menit.

“Pak Har tampak kesepian cak sejak njenengan keluar dari madrasah,” kata Mufita suatu waktu dan saya paham akan hal itu. Begitu pula sebaliknya, salah satu alasan yang membuat saya bersemangat untuk sesekali datang ke madrasah meskipun saya sudah tidak lagi mengajar di sana tidak lain karena hanya ingin mengobrol dengan Mbah Har. Tapi sekarang beliau sudah tidak ada. Kalau pun suatu waktu saya berkeinginan untuk sekadar mampir di madrasah, suasana psikologisnya jelas tak lagi sama. Baik-baik di sana Mbah Har.