Oleh: Salman Rusydi Anwar*
Sudah lama saya tidak menulis. Lebih tepatnya tidak mengisi buku diary dengan tulisan-tulisan seputar apa yang saya rasakan sebagai orangtua saat melihat anak-anak tumbuh dengan semua dinamikanya. Saya memiliki diary yang ditulis sejak 28 Mei 2012 hingga 17 Agustus 2021. Lalu sejak itu vakum hingga sekarang. Di dalam diary itu, saya menuangkan segala hal tentang pikiran, perasaan dan segenap keharuan batin yang saya rasakan tatkala melihat anak-anak sedang tidur, makan, bermain, saat mereka tertawa, menangis dan saat menyaksikan mereka bersiap berangkat sekolah.
Saat melihat anak-anak sedang tidur, pernah terlintas di dalam pikiran sebuah pertanyaan; apa sebenarnya rencana yang sedang dipersiapkan Tuhan atas dirimu? Kenapa Tuhan memberikanmu kepadaku, menjadikan kelahiranmu sebagai sebab bagi kebahagian kami orangtuamu meskipun juga diam-diam kami menyimpan rasa cemas oleh sebuah pertanyaan lain yang datang silih berganti?
Ya, disadari atau tidak, setiap orangtua pasti menyimpan kecemasan yang sama atas anak-anaknya. Dan kecemasan itu, tanpa mereka sadari, berasal dari sebuah pertanyaan yang selamanya tak dapat dijawab dengan tepat; apa sebenarnya rencana yang sedang dipersiapkan Tuhan atas kelahiran anak-anak kita? Bagaimana mereka kelak akan menempuh perjalanan menyusuri sejarah hidup mereka sendiri, tanpa keberadaan kita lagi di sisinya?
Sepertinya Rabindranath Tagore benar saat dia berkata bahwa, “Setiap anak tiba dengan pesan bahwa Tuhan belumlah jera dengan manusia.” Tetapi apa maksud Tuhan di balik ketidakjeraan dan ketidakbosanan-Nya itu sehingga selalu menciptakan dan melahirkan anak-anak setiap saat? Entahlah.
Suatu waktu, saya menonton sebuah film tentang kelahiran Rasulullah Saw di mana Mina Sadati memerankan tokoh Sayyidatina Aminah dan Alireza Shoja Nouri sebagai Abdul Muthalib dengan sangat bagus. Mengikuti alur film tersebut dan menyaksikan peran kedua tokoh di atas, tak terasa air mata saya terjatuh. Saya menyaksikan bagaimana sosok seorang ibu dan juga sosok seorang kakek, dengan kedalaman batin mereka telah berjasa melahirkan dan membesarkan sosok Muhammad yang kelak menjadi manusia termulia sepanjang sejarah.
Menyaksikan film itu, saya bertanya-tanya; sanggupkah saya sebagai orangtua mewariskan keyakinan saya kepada anak-anak saya tanpa ada keraguan sedikitpun di hati mereka? Mampukah saya menjadikan anak-anak yang telah kami besarkan bersama selama ini menjaga nilai-nilai yang telah kami ajarkan di mana pun kelak mereka berada? Bisakah mereka mengambil pelajaran dari setiap jerih payah orangtuanya bahwa kehidupan itu memerlukan perjuangan dan pengorbanan? Mampukah mereka menjaga amanat-amanat Tuhannya jika kami selaku orangtuanya sudah berlalu pergi dari sisi kehidupan mereka?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu selalu menyisakan rasa cemas di hati para orangtua. Di dalam kecemasan yang diam-diam menyelimuti perasaan itu, kita hanya bisa berdoa. Ya, hanya bisa berdoa dengan sepenuh keyakinan dan kepasrahan bahwa karena memang Tuhanlah yang tahu segala rahasia dan jalan hidup anak-anak yang Dia ciptakan, maka biarlah Dia sendiri yang mengatur segalanya. Sebagai orangtua, kita telah sekuat tenaga berusaha yang terbaik bagi mereka meskipun juga kita diam-diam harus mengamini apa kata Gibran dalam aforismanya;
Perempuan yang memeluk bayi di dadanya berkata;
“Bicaralah tentang anak-anak,”
Dan, katanya:
Anakmu bukanlah anakmu.
Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri
Mereka terlahir lewat dirimu, tetapi tidak berasal dari dirimu
Dan, meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu
Selamat Hari Anak Nasional.
*Penulis adalah orang biasa yang terbiasa dengan kebiasaan yang biasa-biasa saja. Kontributor konten freelance MAN 4 Kebumen