Oleh Rusdi, M.A*
Saat sedang menerima tamu seorang warga yang hendak meminta dibuatkan dokumen persyaratan untuk pendaftaran anaknya melanjutkan sekolah, saya sedang membaca ulasan Chappy Hakim terkait sikap saling serang antara Iran vs Israel yang menurutnya sudah bukan lagi perang antar kekuatan militer, melainkan sudah antar sistem negara.
Jika sudah menyangkut antar sistem negara, maka yang menentukan adalah siapa pemegang komando atau kontrol utamanya. Jika Israel berada dalam kontrol Amerika, maka Iran mungkin berada dalam kontrol beberapa negara kuat saingan Amerika, entah China atau Rusia.
Dalam situasi demikian, ada banyak kilasan-kilasan yang mengisi pikiran saya. Israel saat ini perang dengan Iran setelah sebelumnya dengan Palestina. Rusia perang melawan Ukraina. China bersitegang dengan Taiwan. India saling serang dengan Pakistan. Korea Utara saling bidik dengan Korea Selatan. Turki pun kerap cekcok dengan Amerika.
Negara-negara yang sedang berkonflik itu bukan negara receh. Sistem persenjataan mereka bukan lagi mengandalkan pistol mitraliur, tapi sudah rudal kendali, drone peledak tanpa awak sampai ICBM berhulu ledak nuklir yang bisa membuat seluruh warga di suatu negara lenyap dalam hitungan detik.
Menyaksikan hal itu, sebuah pertanyaan iseng muncul di kepala; dengan situasi dunia yang mulai gaduh oleh perang dengan sistem persenjataan yang mengerikan itu, bagaimana generasi muda, anak-anak kecil yang baru mau daftar sekolah itu nantinya? Apakah mereka masih akan dicekoki narasi sejarah kehebatan tentara kita dulu yang mampu menghalau penjajah dengan bambu runcing dan lantas merasa tenang dan yakin bahwa seandainya perang terjadi lagi nanti, mereka cukup pergi ke pekarangan, menebang bambu untuk bikin bambu runcing dan lalu menang? Seberapa siapkah desa-desa mempertahankan kedamaian dan kesuburan tanah-tanahnya jika air dan udara sudah dipenuhi zat-zat radioaktif?
Tentu saja saya tidak dapat memberikan jawaban yang memadai atas pertanyaan-pertanyaan iseng itu meskipun diam-diam memikirkannya secara sambil lalu. Dan di tengah-tengah kesambil-laluan berpikir itu, saya teringat pada sebuah buku Asia’s Deadly Triangle (Segitiga Maut Asia) yang ditulis oleh Kent E Calder. Saya membeli buku itu di sekitaran kampus UNY pada tahun 2015-an dan saya tidak tahu kenapa harus membelinya. Satu-satunya alasan mungkin karena kondisinya yang masih bagus, halaman cukup tebal, murah.
Di sana, Calder menjelaskan perihal geostrategi negara-negara Asia yang mulai tumbuh dan menjadi ancaman perlawanan, tidak hanya bagi dominasi Amerika Serikat sebagai negara Adikuasa, tapi juga antar sesama negara yang berada di kawasan Asia, dan bicara Asia, sudah pasti Indonesia ada di dalamnya. Mengapa mesti harus saling mengancam? Salah satu jawabannya adalah makin berkurangnya sumber energi, terutama minyak yang menjadi komoditas paling wahid bagi semua negara. Begitu analisis Calder.
Ancaman habisnya sumber energi bagi sebuah negara menyebabkan negara itu mesti harus mengeksplorasi wilayah-wilayah mana saja yang memiliki kandungan minyak berlimpah. Tidak peduli wilayah itu milik negara mana. Kalau ada perlawanan dari negara yang bersangkutan, pilihannya hanya tiga; diplomasi, investasi atau invasi. Kalau pilihannya adalah invasi, konsekuensinya adalah perkuat angkatan militernya, persenjataannya, bikin rudal canggih, pelihara ICBM dan kapal selam nuklir. Beres.
Sebagai contoh adalah China. Untuk kepentingan terpenuhinya kebutuhan minyak, China mesti impor dari Timur Tengah, khususnya Iran yang sejak dulu tidak disukai oleh Amerika. Dan seperti yang kita tahu sekarang, negara yang mampu head to head dengan Amerika selain Rusia adalah China. Masalahnya, saat China harus impor minyak dari Timur Tengah, kapal-kapal tengker itu harus melewati kawasan-kawasan territorial negara lain yang sudah pasti akan mengenakan berbagai macam persyaratan untuk bisa melintasinya.
China tentu tidak ingin persyaratan itu mengganggu kepentingannya sehingga ia perlu membuat klaim-klaim akan batas-batas laut yang kemudian diakui sebagai miliknya. Jika negara lain keberatan, China cukup berkata, “Kalau kau punya nyali, ayo perang.” Negara yang merasa belum sepenuhnya mampu mengimbangi kekuatan militer China akan berusaha mengembangkan persenjataan mereka sehingga terciptalah perlombaan pengembangan senjata di kawasan-kawasan Asia ini.
Jika China mengimpor minyak dari Iran, apakah itu hanya dipahami sebagai hubungan dalam bidang perekonomian. Tentu tidak. Secara tidak kasat mata sudah pasti ada hubungan lain yang terjalin di samping juga tidak menutup kemungkinan ada transfer teknologi yang memungkinkan Iran, meski diembargo selama bertahun-tahun oleh USA, nyatanya memiliki sistem persenjataan canggih. Selain itu, hubungan Iran dan China secara tidak langsung juga merupakan simbol dari adanya persentuhan ideologi antara Islam-Komunis, dua ideologi yang sama sekali tidak disukai Amerika.
Setelah usil memikirkan soal-soal di atas, saya terdiam sejenak. Lalu membayangkan anak kecil yang hendak didaftarkan ke sekolah oleh ibunya itu. Apakah di sekolah mereka masih akan diajari soal bambu runcing di saat negara-negara lain di dunia sudah berlomba bikin ICBM? Apakah mereka akan diajari kehebatan taktik perang gerilya di saat negara lain sudah memiliki satelit yang mampu melacak keberadaan seseorang meski sembunyi di gorong-gorong? Apakah mereka tidak akan diberi wawasan lain soal komunis misalnya bila negara lain, demi kepentingan keselamatan negara dan warga mereka, sudah saling berangkul tangan meski beda ideologi. Ya contohnya seperti Iran-China tadi?
Saya menarik napas. Menghirup aroma desa yang tenang sambil berharap ancaman geostrategis tidak sampai pecah menjadi perang terbuka, entah dengan cara istighasah atau mungkin tahlil bersama..hehe. Ya, mungkin hanya doa dan tawakkal yang bisa diajarkan oleh pendidikan kita yang sistem kurikulumnya masih kerap diganggu oleh kurikulum yang selalu berubah, jlimetnya administrasi, kesejahteraan guru yang belum terwujud. Saat sekolah-sekolah di negara maju sudah memperkenalkan teknologi yang memungkinkan murid-muridnya meneroka ruang angkasa, kita masih asyik membayangkan rayuan pulau kelapa. Belum lagi yang terbaru empat pulau jadi sengketa. Mumet-mumet. Weslah.
*Penulis adalah kontributor freelance web MAN 4 Kebumen, dan dosen IAINU Kebumen