Oleh: Salman Rusydie Anwar*

Setiap tanggal 17 Agustus, hampir semua sekolah di seluruh penjuru tanah air melaksanakan upacara. Dan kita tahu sendiri apa saja rangkaian acara dalam upacara peringatan kemerdekaan itu, baik mulai dari hal-hal yang bersifat rutin dan membosankan bagi sebagian sampai dengan hal-hal rutin yang bisa bikin hati deg-degan bagi sebagian yang lain.

Tapi tahukah kita bahwa spirit proklamasi itu sama sekali tidak mengakomodir dan tidak cocok bagi generasi alay dan suka rebahan alias pemalas? Ada dua alasan kenapa spirit proklamasi itu sama sekali tidak cocok buat kaum unfaedah yang dapat membebani keuangan negara dan kedua orangtua semacam itu.

Pertama, mari kita lakukan kilas balik menjelang detik-detik dikumandangkannya proklamasi oleh Ir. Soekarno. Sehari sebelum teks proklamasi dibacakan, sejarah mencatat bahwa Bung Karno dan Bung Hatta telah diculik di daerah Rengasdengklok oleh golongan muda yang mendesak kedua pemimpin itu segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Kita tahu bahwa dalam peristiwa penculikan itu, Bung Karno sedang tidak baik-baik saja. Di dalam tubuhnya telah bersarang parasit Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale yang menjadikan tubuh sang Proklamator itu mengalami demam hebat tiap 48 jam yang menyebabkan tubuh menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot, dan kelelahan. Dan itulah yang dialami Bung Karno pasca-penculikan pada malam 17 Agustus sekitar jam tiga dini hari.

Pada jam tiga dini hari itu, di tengah keringat dingin yang bercucuran, nyeri otot dan kelelahan akibat infeksi parasit dan penculikan, Bung Karno memaksakan diri menuliskan sesuatu di atas kertas meskipun tulisan itu banyak yang kemudian ia robek dan dibuang di tempat sampah. Tidak ada yang tahu pasti apa yang ia tulis. Tapi semua orang paham bagaimana perasaan seorang pemimpin yang akan menyatakan kemerdekaan bangsanya setelah berabad-abad berada dalam genggaman penjajahan.

Kedua, pada pagi hari di tanggal 17 Agustus, Bung Karno benar-benar ‘ambruk’. Suhu tubuhnya mengalami demam tinggi. Gejala Malaria Tertiana yang bersarang ditubuhnya benar-benar telah mengalahkan pertahanan tubuh dan tenaganya sampai-sampai dokter pribadinya memberikan obat suntik yang membuatnya tertidur pulas beberapa saat.

Menjelang pukul sembilan pagi, Bung Karno terbangun dari tidurnya. Tentu saja kondisi tubuhnya tidak benar-benar pulih seratus persen. Gurat-gurat kelelahan akibat parasit dan juga tekanan demi tekanan yang dihadapinya begitu jelas terbaca di raut wajahnya. Tetapi ia tahu satu hal bahwa pernyataan kemerdekaan harus segera dikumandangkan. Ribuan rakyat Indonesia yang sudah bertahun-tahun lamanya merasakan penderitaan akibat penjajahan harus dinyalakan api semangatnya guna menyambut hari baru, Indonesia baru.

Maka tepat pada jam 10:00, di hari 17 Agustus 1945, proklamasi kemerdekaan pun digemakan oleh Bung Karno dengan semangat yang menggelora. Ribuan rakyat di seluruh penjuru negeri menyambut proklamasi kemerdekaan itu dengan suka cita tanpa banyak yang mengetahui bahwa Sang Proklamator yang membacakan teks proklamasi itu berdiri menyatakan kemerdekaan bangsanya di tengah serangan parasit yang setiap 48 jam menyebabkan tubuhnya menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntah, nyeri otot, dan kelelahan.

Intinya, proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus itu bukan saja momen pernyataan kemerdekaan sebuah bangsa, melainkan juga momen keteguhan, kesungguhan dan pengorbanan serta perjuangan menyalakan api semangat untuk mewujudkan sebuah harapan dan cita-cita. Karena itu, kaum alay dan kaum rebahan sama sekali tidak cocok dengan spirit proklamasi.

*penulis adalah kontributor freelance MAN 4 Kebumen