Refleksi Bulan Rabiul Awal Bulan Kelahiran Nabi Muhammad Saw
Oleh Salman Rusydi Anwar*
Sebuah pendapat mengatakan betapa beruntungnya umat pasca masa kenabian dan kerasulan Isa bin Maryam, karena Allah Swt mengangkat Muhammad sebagai nabi dan rasul yang tidak hanya membenarkan dan menyempurnakan risalah para nabi sebelumnya melainkan juga menjadi akhir dari seluruh rangkaian risalah kenabian sejak Nabi Adam As.
Dan alangkah beruntungnya pula orang-orang yang ditakdirkan menjadi umatnya Nabi Muhammad karena mereka menjadi generasi yang berada di bawah panji kepemimpinan seorang nabi dan rasul yang dimuliakan dan dihormati, justru oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Lalu adakah lagi yang lebih beruntung setelah itu. Ada, yaitu kita; kita yang sama sekali tidak pernah hidup sezaman dengan Rasulullah dan apalagi bersua wajah dengannya tapi beriman kepadanya.
Terkait hal itu, Rasulullah sendiri yang mengkonfirmasi sebagaimana dalam sabdanya yang menjelaskan bahwa konon ada seseorang datang menemui beliau dan lalu berkata, “Alangkah beruntungnya orang yang melihatmu dan beriman kepadamu.” Mendengar hal itu, Rasulullah menjawab, “Beruntunglah orang yang melihatku dan beriman kepadaku. Juga beruntunglah, beruntunglah dan beruntunglah orang yang beriman kepadaku padahal mereka tidak pernah melihatku,” (HR. Ahmad dari Said al-Khudri).
Mengacu pada hadis tersebut, tentu generasi tabi’in sampai dengan kita yang hidup saat inilah yang tercakup dalam hadis tersebut, yang seandainya diterjemahkan secara bebas maksud hadis di atas adalah, “Yang pernah melihatku dan beriman padaku ya beruntung. Tapi buaaangett beruntungnya mereka yang nggak pernah tahu rupa wujudku tapi gelem percaya sama aku. Itu top bangat. Top banget. Sumpah!”
Meskipun dikatakan sebagai keberuntungan, tapi keberuntungan tersebut tetap saja memerlukan syarat, dan syaratnya yaitu beriman, yakin dan percaya akan kenabian dan kerasulan Muhammad Saw dengan seluruh konsekuensi yang diterima beliau sebagai utusan Allah; menerima wahyu dan berbagai perintah dari-Nya untuk disampaikan dan diajarkan kepada hamba-hamba-Nya.
Dan bentuk keimanan kita kepada Muhammad sebagai nabi dan rasul juga perlu dibuktikan dengan kepatuhan kita menjalankan perintah Allah yang disampaikan melalui beliau. Itulah konsekuensi dari iman kita kepada Rasulullah Saw. Adalah hal yang tidak logis manakala kita mengaku beriman, percaya dan tunduk kepada Rasulullah sementara di saat yang bersamaan kita tidak mengindahkan anjuran-anjurannya.
Itulah sebabnya, dalam berbagai ayat, Allah Swt selalu menggandeng perintah beriman dengan beramal salih; alladzína ámanú wa ‘amilu al-shálihát. Percaya tapi juga beramal upaya. Percaya tapi juga berbuat nyata sesuai perintah. Itulah esensi utama dari beriman.
Sebagai umatnya Nabi Muhammad Saw, tentu kita harus benar-benar mempertahankan kebanggaan kita karena ditakdirkan menjadi umat beliau. Dan kebanggaan itu haruslah menjadi kebanggaan yang aktif, kebanggaan yang didasari oleh iman yang mendorong kita untuk berbuat sesuai anjuran dan perintahnya. Sebaliknya, kebanggaan kita akan menjadi kebanggaan semu, kebanggaan pasif, manakala kita hanya bangga menjadi umat Rasulullah Saw namun kita tidak pernah mengindahkan anjuran dan perintahnya atau berseberangan amal dengan apa yang sudah diajarkannya.
Sháhibul Burdah, Imam Bushairi dalam salah satu bait syairnya menuliskan; lammá da’alláhu dá’íná lithá’atihí bi akrami al-rusli kunná akrama al-umami. Ketika Allah memanggil nabi kami dengan panggilan rasul yang paling mulia karena ketaatannya, maka kami pun menjadi umat yang paling mulia.
Pernyataan Imam Bushairi ini oleh sebagian ulama dikatakan sebagai pernyataan yang begitu heroic dan penuh percaya diri. Seakan-akan dalam syair itu Imam Bushairi hendak berkata, “Ya Allah! Karena engkau telah menjadikan nabi kami, Nabi Muhammad sebagai nabi yang paling mulia karena ketaatannya dibanding nabi-nabimu yang lain, maka kami pun hendaknya dijadikan umat yang paling mulia daripada umat nabi-nabi yang lain.”
Dalam syair di atas, Imam Bushairi menegaskan bahwa kemuliaan Nabi Muhammad Saw sehingga Allah memanggil beliau dengan panggilan yang begitu mulia bukanlah tanpa alasan. Allah begitu mengagungkan Nabi Muhammad karena ketaatannya. Dan apabila kita menginginkan menjadi umat yang mulia dan beruntung tentu saja harus diperantarai oleh hal yang kurang lebih sama sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw; taat dan patuh menjalankan perintah-Nya. Selamat datang Syahrul Maulid. Selamat datang kemuliaan.
*Penulis adalah kontributor freelance MAN 4 Kebumen