Oleh: Rusdi, M.A*
Setiap kali hendak menyampaikan mata kuliah di depan mahasiswa, ada satu pertanyaan yang selintas lalu sering mengusik pikiran saya; apakah materi yang saya berikan dapat berkontribusi terhadap masa depan lingkungan mereka? Ataukah hanya berkontribusi dalam mengantarkan para mahasiswa untuk lulus dan bekerja?
Dalam perkuliahan, saya memang kerap menyisipkan kajian-kajian tentang lingkungan seperti isu-isu pencemaran lingkungan, pencemaran sungai dan sebagainya. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk mengingatkan kembali posisi mahasiswa bahwa sekalipun mereka merupakan insan akademis tapi mereka juga adalah makhluk natur dan kosmos.
Sebagai insan akademis, sudah barang tentu mahasiswa dituntut untuk mempelajari teori, menguji teori, melakukan riset dengan seperangkat teori-teori yang mereka pelajari. Namun sebagai makhluk kosmis, mereka juga terikat pada udara, air, tanah, pohon-pohon, kicau burung dan desir angin.
Hal yang sama juga berlaku bagi sekolah-sekolah. Saat para pelajar berada di ruang-ruang kelas, mereka dituntut untuk tekun mempelajari berbagai disiplin ilmu. Tetapi mereka juga dengan sendirinya terhubung pada natur dan suasana kosmos di sekitar mereka sehingga apa yang dipelajari di ruang-ruang kelas dan ruang kuliah semestinya dapat menggugah pikiran mereka untuk menjawab satu pertanyaan; apakah pengetahuan yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk menjaga keberlangsungan masa depan lingkungan mereka atau sebaliknya.
Tahun 1962, seorang professor yang mengajar di Universitas Maryland Washington bernama Rachel Carson menulis buku berjudul ‘The Silent Spring’, musim semi yang sunyi. Buku ini lahir setelah Carson pada suatu pagi di musim semi mendapati banyak burung di sekitar kampus yang mati.
Carson memiliki kebiasaan unik. Saat pagi-pagi selama musim semi, ia akan menghabiskan waktunya berjalan-jalan di sekitar kampus hanya untuk mendengar suara burung-burung berkicau. Namun pada suatu pagi di musim semi, ia merasa heran karena tidak mendengar lagi suara kicau burung di sana. Dan yang lebih mengagetkan dirinya adalah dia justru mendapati beberapa burung tergeletak mati.
Setelah di selidiki, ternyata beberapa pohon di sekitar kampus yang biasa menjadi tempat burung-burung itu bertengger telah disemprot pestisida beberapa hari sebelumnya. Burung-burung yang biasa memakan bunga-bungaan di pohon tersebut saat musim semi tiba tidak sadar bahwa mereka telah menelan bunga dan bebijian yang sudah dicemari racun.
Peristiwa itu begitu memukul perasaan Carson sehingga ia menggugat tindakan pencemaran lingkungan dengan racun dan bahan-bahan kimiawi melalui bukunya; The Silent Spring. Buku ini begitu berpengaruh dan kemudian banyak dijadikan rujukan oleh para pemerhati lingkungan hidup di seluruh dunia.
Dalam salah satu bagian buku itu Carson menulis, along with the possibility of the extinction of mankind by nuclear war, a central problem of our age is the contamination of man’s total environment with substances of incredible potential for harm. Ya, masa depan keberlangsungan umat manusia tidak hanya terancam oleh nuklir, tapi juga oleh terkontaminasinya lingkungan dengan zat-zat yang berbahaya, yang masuk ke dalam tubuh kita.
Apakah lembaga pendidikan dan kampus-kampus sudah berpikir serius tentang masalah ini?
Saya tidak ingin menjawab pertanyaan tersebut. Tapi dalam terminologi Islam, ada fakta menarik di mana agama ini memiliki semacam ethics of care terhadap keberlangsungan dan kesehatan lingkungan. Di dalam Al-Qur’an, tidak kurang dari 17 ayat yang tersebar dalam beberapa surat di mana Allah Swt menyebut kata-kata pohon, baik sebagai nama tempat, perumpamaan, muasal hukum dan lainnya.
Pertanyaannya kenapa menggunakan pohon? Hal ini tidak lain karena sebuah pohon menjadi penunjang keberlangsungan ekologi, ekonomi, sosial dan hajat hidup seluruh makhluk. Dalam sabdanya, Nabi Muhammad Saw juga berkata, “Biar besok kiamat, jika kamu memiliki sebatang bibit, tanamlah.” Kedengarannya memang sia-sia. Tapi pesannya jelas bahwa kepedulian terhadap keberlangsunan dan kesehatan ekologi itu mendesak, tak bisa ditawar dan harus dimulai sejak dalam ide akal pikiran. Untuk itu setiap lembaga pendidikan bertanggung jawab menanamkan kesadaran ini.
*Penulis merupakan kontributor freelance konten website MAN 4 Kebumen