Guru dan Ortu Sebagai Muwarrits

Salman Rusdi, M.A.

 Di penghujung tahun 2020, sebuah tayangan kaleidoskop menayangkan berita yang sesungguhnya bagi saya kurang menyenangkan. Renaldi Denada Rachman, yang lahir dalam keluarga Muslim dikabarkan memeluk Kristen. Ia melakukan transgender menjadi perempuan dan dikenal sebagai Dena Rachman. Keputusannya melakukan transgender sempat bikin heboh sebelum kemudian ia kembali bikin ‘heboh’ setelah menyatakan bahwa dirinya telah menemukan jalan kebenaran di dalam Kristen dan memeluk agama itu.

Keputusan memeluk agama lain di luar agama yang telah dianut oleh keluarga dan orangtua yang telah membesarkan Dena bagi sebagian orang mungkin terasa sangat menyedihkan dan memilukan. Kita yang Muslim tentu tidak siap mendengar kabar-kabar bahwa sebagian dari saudara kita juga menanggalkan Islam dan memeluk agama lain. Namun Dena Rachman tentu memiliki alasan, terlepas kita setuju atau tidak dengan sekian alasannya.

Sebelumnya ia mengungkapkan betapa tidak mudah menjadi sosok laki-laki namun sekaligus memiliki sifat feminim yang menonjol seperti dirinya. Mungkin orang-orang menyebutnya banci dan sebutan itu terkadang dijadikan sebagai bahan gojlokan dan olok-olok. Parahnya lagi, para pendakwah seringkali tidak menunjukkan sikap ramah kepada orang-orang seperti Dena Rachman dengan menyodorkan sekian dalil yang menyebabkan orang-orang seperti Dena merasa terkutuk, dilaknat, tidak memiliki jalan selain ke neraka.

Apakah Dena pernah meminta dilahirkan menjadi sosok yang ‘abu-abu’ seperti itu? Tentu tidak. Ada banyak faktor dan sebab yang mempengaruhi kepribadiannya seperti itu. Selebihnya adalah takdir itu sendiri yang mau tidak mau keadaan itu harus diterima dengan penuh kepasrahan, sabar dan ridha.

Untuk bisa menyikapi keadaan seperti ini, tentu saja orang-orang seperti Dena butuh teman, butuh orang-orang yang mampu mengayomi dan membimbing jiwanya, butuh tokoh penyampai agama yang tidak hanya bisa menyuguhkan dalil-dalil kutukan, melainkan yang dapat membantunya tenang menerima kenyataan. Bila tidak, maka akan lahir Dena-Dena yang lain, yang lahir dan dibesarkan di dalam keluarga yang bertauhid, namun ujung-ujungnya memilih jalan yang kita sebut murtad.

Kita tahu bahwa Rasulullah Saw dalam riwayat Bukhari melaknat laki-laki yang mukhannats (menyerupai wanita) dan perempuan yang mutarajjilah (menyerupai lelaki). Tetapi kita tahu bahwa keadaan mukhannats dan mutarajjilah itu sebagian bukan karena dibuat-buat, melainkan bisa karena kelainan genetik dan hal ini tentu berada di luar kuasa kita. Bila demikian, tentu tidak tepat apabila dalil laknat itu digunakan untuk menyikapi ketentuan genetik yang sepenuhnya merupakan urusan Tuhan.

Di sinilah kita memerlukan hadirnya agamawan yang bukan hanya mengerti bagaimana berdalil, melainkan juga mau meneliti keadaan. Tujuannya adalah agar orang-orang seperti Dena, ketika menghadapi persoalan, ia tetap bisa dibimbing untuk pasrah, tawakkal, sabar, ridha dan kembali kepada ajaran tauhid yang telah diajarkan orangtuanya, bukan pindah haluan dengan memeluk agama lain.

Dari kasus Dena Rachman, kita juga sebagai orangtua mungkin perlu menyadari betapa sesungguhnya warisan yang paling utama untuk diwariskan kepada anak cucu kita tidak lain adalah warisan tauhid. Kita perlu memikirkan dan berusaha bagaimana caranya agar anak cucu kita beriman dan menyembah kepada Allah sebagaimana kita dan leluhur kita menyembah-Nya. Kita perlu berusaha agar anak cucuk kita rukuk dan sujud kepada-Nya sebagaimana kita dan kakek buyut kita rukuk dan sujud kepada-Nya.

Pentingnya warisan tauhid ini tersirat antara lain dalam doa yang diajarkan Allah Swt di dalam surat Ibrahim ayat 40,

رَبِّ ٱجْعَلْنِى مُقِيمَ ٱلصَّلَوٰةِ وَمِن ذُرِّيَّتِى ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَآءِ

‘Ya, Tuhanku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan salat. Ya, Tuhan kami, kabulkanlah doa kami.’ Betapa malangnya kita sebagai orangtua yang hanya berjuang bagaimana kelak dapat mewariskan harta benda tanpa pernah bersungguh-sungguh berpikir apakah anak cucu kita akan menjadi pewaris tauhid, apakah mereka akan tetap mendirikan salat, mau membayar zakat, masih mau membaca dan mempelajari Alquran, menegakkan akhlak dan sebagainya.

Tapi bukan hanya orangtua yang perlu memiliki pemikiran seperti itu, melainkan juga seorang guru. Karenanya kita mengenal ungkapan yang akhir-akhir ini populer dilagukan; laulá murobbi lamá ‘arafná rabbí wa laula al-‘ulamá lamá ‘arafna al-anbiya, andai bukan karena guru, kita tidak akan mengenal Tuhan dan andai bukan karena ulama kita tidak akan mengenal para nabi.

Kita boleh setuju atau tidak dengan ungkapan di atas yang seakan-akan merupakan sebuah derivasi dari pernyataan Dzin Nun Al-Misri, ‘araftu rabbí bi robbí laulá robbí lamá ‘araftu robbí. Aku mengenal Tuhanku karena Tuhanku dan seandainya bukan karena Tuhanku aku tidak akan mengenal Tuhanku. Tetapi kita perlu menimbang ulang sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa, guru yang baik tidak hanya memperkenalkan benda-benda di alam semesta melainkan juga memperkenalkan dan mendekatkan murid kepada penciptanya.

Bila demikian, baik orangtua maupun guru, tidak lain adalah al-muwarris atau pewaris yang tidak hanya mewariskan teori keilmuan, melainkan juga tauhid. Kita sama sekali tidak menginginkan anak cucu dan anak didik kita mengalami keadaan yang sama sebagaimana Dena Rachman; saat menghadapi masalah, bukannya kembali bersimpuh dalam rukuk sujud kepada Allah Swt, melainkan malah meninggalkan dan menanggalkan-Nya. Naudzubillah.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *