Oleh: Rindang Bahtiar, S.Pd

Dalam disiplin psikologi, khususnya psikologi pendidikan, terdapat berbagai macam teori yang berusaha mengungkap tentang bagaimana manusia belajar. Secara umum, belajar dapat diartikan sebagai kegiatan mengumpulkan sejumlah pengetahuan, (Moh. Suardi,  2015: h.35). Kegiatan berupa mengumpulkan sejumlah pengetahuan ini diperoleh dari berbagai sumber. Salah satunya dari guru sebagai sosok yang dianggap lebih dahulu memiliki pengetahuan tersebut. Melalui guru, seseorang belajar dan memperoleh pengetahuan.

Pengertian belajar seperti di atas sampai saat ini masih dilakukan, dimana seseorang baru dikatakan belajar apabila mereka pergi ke sekolah, menerima pengetahuan dari guru, membaca buku, mengerjakan tugas dan sebagainya. Dari pengertian belajar seperti itulah kemudian dikenal istilah proses belajar-mengajar.

Akan tetapi, di dalam teori psikologi pendidikan, pengertian belajar memiliki cakupan makna yang lebih luas. Secara garis besar, teori belajar dalam sudut pandang psikologi pendidikan dapat dibagi ke dalam tiga bagian; teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif, dan teori belajar humanistik.

Behavioristik sebagai aliran psikologi memandang individu lebih kepada sisi fenomena jasmaniahnya ketimbang aspek mental, bakat, minat dan perasaan individu dalam belajar. Dan berdasarkan teori behavioristik ini pengertian belajar adalah terjadinya perubahan tingkah laku individu yang dipengaruhi oleh adanya interaksi antara stimulus dan respon (Efendi, 2016: h.61). Dengan demikian, yang dimaksud belajar dalam teori ini tidak lain adalah terjadinya perubahan dalam kemampuan tingkah laku individu yang terjadi akibat adanya interaksi, dimana dalam interaksi tersebut tercermin adanya jalinan antara stimulus dan respon (Asri Budiningsi, 2005: h.20).

Berbeda dengan behavioristik yang memaknai belajar sebagai terjadinya perubahan perilaku individu akibat adanya interaksi antara stimulus-respon, makna belajar dalam teori kognitif justru menekankan pada proses-proses yang berlangsung dalam kognisi manusia. Menurut Bransford sebagaimana dikutip oleh Sri Esti Wuryani Djiwandono, yang penting dalam teori ini adalah bagaimana orang belajar, mengerti, mengingat informasi dan mengapa beberapa orang dapat melakukan proses itu dengan baik sementara tidak dengan yang lain. Walau demikian, ada dua ketegori mendasar dalam teori belajar kognitif ini, yaitu pemahaman tentang bagaimana proses informasi diterima, diolah dan disimpan yang diilustrasikan sebagaimana model computer dan yang kedua adalah bagaimana manusia mengingat informasi tersebut (Sri Esti Wuryani Djiwandono, 1989:h,150).

Sementara itu, psikologi humanistik yang dipelopori oleh Maslow, Rogers dan Comb berpandangan bahwa motivasi dasar manusia adalah mencapai aktualisasi diri. Karena itu, belajar menurut teori humanistik ini adalah perluasan dari pandangan kognitivistik, yang menambahkan pertimbangan luar mengenai bagaimana pemikiran individu dan kemampuan belajarnya berkembang sejalan dengan kematangannya. Maka dalam pandangan humanistik, belajar harus terjadi dalam suasana bebas, diprakarsai sendiri dan percaya pada diri sendiri. Di samping itu, teori humanistik juga berpandangan bahwa belajar akan berarti apabila berpusat pada kepentingan sasaran didik, dilakukan berdasarkan pengalaman sendiri serta melibatkan seluruh aspek pribadi demi mencapai proses aktualisasi diri.

Di samping teori-teori tersebut, dalam psikologi pendidikan, kita juga mengenal tentang teori belajar kelompok sebaya (peer group). Fokus belajar kelompok sebaya menurut Keith. J Topping adalah terutama pada teman sebaya dimana sistem pembelajaran yang dijalankan adalah pembelajaran kooperatif dan penilaiannya juga didasarkan pada penilaian teman sejawat. Keith J. Topping juga menambahkan bahwa model pembelajaran peer group ini, tidak hanya memberikan keuntungan atau dampak positif terhadap kognisi anak. Tetapi, di samping keuntungan kognitif, ia juga memberikan keuntungan lain seperti keuntungan sosial dan emosional (Keith J. Topping, 2005: h, 68).

Pembelajaran dalam kelompok sebaya (peer group) dilakukan agar dari proses pembelajaran tersebut terbentuk sikap-sikap seperti kemampuan menghargai teman, bekerjasama, peduli, mampu memenuhi aturan, mampu bersaing secara sportif, setia kawan dan memperoleh pengalaman, pengetahuan serta prestasi. Dari uraian di atas, setidaknya dapat dirumuskan problem masalah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini antara lain;

Pertama, apa pengertian kelompok sebaya atau peer group? Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menjelaskan pengertian tentang kelompok sebaya berdasarkan pendapat para ahli. Meskipun secara definitif kelompok sebaya dapat memiliki cakupan makna dan bentuk yang sangat luas, akan tetapi dalam makalah ini pembahasan tentang kelompok sebaya hanya difokuskan dalam ruang lingkup pendidikan, terutama yang berhubungan dengan pelajar.

Kedua, apa pengaruh kelompok sebaya terhadap proses belajar? Berbagai penelitian menujukkan bahwa kelompok sebaya memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terbentuknya perilaku individu. Dengan demikian, pertanyaan dalam rumusan masalah yang kedua ini tidak lain untuk mengkaji adanya pengaruh dan sekaligus manfaat kelompok sebaya dalam proses pendidikan.

Menurut John W. Santrock, yang disebut dengan kelompok sebaya (peer group) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau kedewasaan yang sama, atau teman sebaya yang memiliki hubungan erat dan saling tergantung serta menyediakan sarana untuk perbandingan secara sosial dan sumber informasi tentang dunia di luar keluarga (Jhon W. Santrock, 2003: h, 210).

Slavin mendefinisikan kelompok sebaya sebagai suatu interaksi dengan orang-orang yang mempunyai kesamaan dalam usia dan status. Dan sejalan dengan Slavin, Mappiare menyatakan bahwa kelompok sebaya merupakan lingkungan sosial yang pertama dimana remaja belajar hidup bersama orang lain yang bukan anggota keluarganya (Andi Mappiare, 2003: h,157).

Keke Liu memandang bahwa kelompok sebaya berperan penting dalam proses pendidikan terutama melalui terbangunnya persepsi seorang individu terhadap suatu objek berkat adanya persepsi yang sama oleh rekan lain yang sebaya (Keke Liu, 2010: h, 9). Hal ini mengindikasikan bahwa dalam proses memperoleh pengetahuan, persepsi masing-masing individu dalam suatu kelompok sebaya terhadap satu bidang objek informasi berpengaruh terhadap individu-individu lain yang ada dalam kelompok sebaya yang sama.

Sementara itu, menurut Allison M. Ryan, yang dimaksud dengan kelompok sebaya atau peer group merujuk kepada adanya kelompok kecil individu yang relative intim, dan melakukan interaksi secara teratur dengan rekan-rekan mereka, the term peer group is used to refer to an individual’s small, relatively intimate group of peers who interact on a regular basis, (Allison, 2000: h,102).

Sedangkan Brown, mengemukakan bahwa istilah peer group diterapkan untuk menjelaskan adanya interaksi individu dengan teman-teman terbaik mereka dan mencakup semua kelompok usia (BB. Brown, 1986: h,139). Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok sebaya atau peer group adalah kelompok individu dengan tingkat usia dan kedewasaan yang sama, serta memiliki hubungan erat satu sama lain dan yang senantiasa melakukan interaksi secara intim dan teratur.

Kelompok sebaya pada dasarnya merupakan kajian yang erat kaitannya dengan masalah sosial. Dan kaitannya dengan teori belajar kita kemudian mengenal tentang teori pembelajaran sosial yang dikembangkan oleh Albert Bandura. Teori pembelajaran sosial ini dikenal dengan istilah observational learning, yaitu belajar dengan jalan mengamati. Dan menurut teori pembelajaran sosial ini aspek terpenting dari belajar adalah kemampuan seseorang untuk mengabstraksikan informasi dari perilaku orang lain, mengambil keputusan mengenai perilaku mana yang akan ditiru dan kemudian melakukan perilaku-perilaku yang telah dipilih (Dimyati, 1989: h,145).

Selanjutnya, menurut teori di atas, tingkah laku dan lingkungan merupakan dua hal yang dapat dimodifikasi dan keduanya tidak dapat disebut penentu utama perubahan tingkah laku. Karena itu, tingkah laku bukan sepenuhnya dipengaruhi oleh hubungan dua arah, yakni individu dan lingkungan, melainkan juga faktor pribadi yang bersifat internal. Dengan demikian, tingkah laku, lingkungan dan peristiwa batiniah seseorang yang mempengaruhi persepsi dan tindakannya merupakan tiga hal yang saling berkaitan yang mendukung terlaksananya proses belajar.

Di samping ketiga faktor tersebut, faktor kelompok sebaya yang merupakan faktor sosial juga merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses terjadinya belajar pada masing-masing individu. Menurut Crow and Crow sebagaimana dikutip oleh Wulan mengatakan bahwa kelompok sebaya merupakan satu di antara faktor-faktor yang tidak hanya membuat seseorang belajar, melainkan juga dapat menjadi faktor kedisiplinan dalam belajar.

Crow berpendapat bahwa faktor disiplin belajar di antaranya berasal dari faktor sosial, dan yang dimaksud dengan faktor sosial adalah pergaulan dengan teman sebaya di sekolah maupun di masyarakat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bila seseorang bergaul dengan teman sebayanya yang memiliki cara belajar yang baik, maka ia dapat terpengaruh sehingga yang bersangkutan dapat mengikuti cara belajar teman atau kelompok sebayanya tersebut (Dewi Sri Nawang Wulan, 2007: h,21).

Dalam berbagai penelitian sudah banyak dikemukakan tentang bagaimana kelompok sebaya memberikan pengaruh dalam keberhasilan seorang anak atau siswa di dalam mereka belajar. Beberapa penelitian tersebut dapat penulis kemukakan di antaranya adalah hasil penelitian Bankole Emmanuel Temitope.

Bankole Emmanuel Temitope (selanjutnya ditulis Bankole), merupakan seorang dosen pada Departemen Psikologi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Ekiti Nigeria. Bankole melakukan penelitian dengan judul ‘Pengaruh Kelompok Sebaya Terhadap Kinerja Akademik Siswa di Sekolah Menengah Ekiti’.

Hipotesa yang dibangun dalam penelitian Bankole terutama untuk mengetahui: (1) pengaruh sosialisasi terhadap kinerja akademik, (2) pengaruh usia terhadap kinerja akademik, (3) pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap kinerja akademik, (4) pengaruh agama terhadap kinerja akademik yang di dalamnya melibatkan siswa beragama Muslim dan Kristen, (5) pengaruh penggunaan obat-obatan terhadap kinerja akademik, (6) pengaruh kelompok sebaya terhadap kinerja akademik, (7) pengaruh signifikan lokasi rekan sebaya terhadap kinerja akademik (Bankole, 2015: h,325).

Sampel yang digunakan Bankole dalam penelitiannya terdiri dari 225 siswa dari lima sekolah yang dipilih dengan populasi siswa yang digunakan adalah 125 siswa laki-laki dan 100 siswa perempuan. Prosedur seleksi didasarkan pada teknik random sampling dengan 45 murid, masing-masing dari sekolah menengah yang dipilih. Dalam penelitian ini, Bankole menggunakan mata pelajaran tertentu sebagai sampel dan terutama mata pelajaran dimana siswa memperoleh rangking atau nilai rendah dari pelajaran tersebut.

Tugas-tugas dari mata pelajaran tersebut dikerjakan berdasarkan kelompok dengan klasifikasi kelompok meliputi; kelompok siswa yang seagama, kelompok siswa yang sama-sama berasal dari pedesaan, kelompok siswa yang sama-sama berasal dari perkotaan, kelompok siswa yang sama-sama kecanduan obat, kelompok siswa yang sama-sama mengikuti kegiatan ekstra.

Hipotesa awal dikatakan bahwa kelompok sebaya tidak mempengaruhi kinerja akademik siswa. Akan tetapi dari hasil penelitiannya, Bankole menemukan bahwa kelompok sebaya memberikan pengaruh terhadap kinerja akademik atau prestasi mereka di sekolah. Pengaruh kelompok sebaya dalam penelitian Bankole terlihat pada beberapa hal. Pertama, timbulnya asosiasi terhadap minat yang sama di antara mereka. Artinya, kesamaan minat menumbuhkan sikap asosiatif yang mempengaruhi meningkatnya kinerja akademik siswa.

Kedua, karakteristik yang menempel dalam individu dalam kelompok sebaya mengundang respon individu lain untuk mengubah sikap mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Ryan bahwa bila ada seorang siswa dalam kelompok sebaya mereka memiliki nilai akademik yang baik, maka nilai dan karakteristik individu tersebut bisa mengakibatkan terjadinya resistensi perubahan pada individu lain (Allison M.Ryan, 2000:h,105). Dengan kata lain, siswa yang memiliki nilai rendah cenderung akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja akademik dan prestasinya dengan adanya rekan lain dalam kelompok sebaya mereka yang berprestasi.

Sekalipun banyak pendapat para ahli yang dikuatkan dengan berbagai penelitian mengenai adanya pengaruh kelompok sebaya terhadap proses dan prestasi belajar anak, akan tetapi menurut Ryan, ada beberapa isu yang bersifat metodologis yang masih tidak banyak diperhatikan ketika kita berbicara tentang makna kelompok sebaya.

Isu-isu tersebut menyangkut beberapa hal. Pertama, terkait dengan makna sebaya (peer). Apakah kelompok ke-sebaya-an yang dimaksud merupakan hasil seleksi atau merupakan proses sosialisasi. Hal ini menurut Ryan penting diperhatikan sebab bisa jadi sebuah kelompok terbentuk karena adanya pilihan dan ada juga yang karena proses sosialisasi.

Kedua, pengukuran kelompok sebaya. Penggunaan terminologi yang variatif selama ini telah menyebabkan konsep mengenai makna kelompok sebaya banyak mengandung kekurangan. Sebagian pendapat mengartikan kelompok sebaya hanya merujuk pada kelompok kecil yang berinteraksi secara intim dan teratur yang menghabiskan waktu mereka secara bersama-sama. Sementara pendapat lain justru mengatakan bahwa kelompok sebaya juga bisa meliputi sejumlah kelompok besar, tidak dibatasi oleh jumlah sebagaimana kelompok siswa sebaya dan melakukan interaksi dengan berbagai kepentingan.

Ketiga, rasa dan laporan. Ada perbedaan menurut Ryan mengenai pengaruh kelompok sebaya antara apa yang dilaporkan oleh peneliti dengan apa yang dirasakan oleh tiap individu dalam kelompok tersebut. Untuk itu, laporan yang dianggap paling benar menurut Ryan mengenai pengaruh kelompok sebaya ini bukanlah apa yang dilaporkan tetapi bagaimana orang yang terlibat dalam kelompok sebaya itu melaporkan sendiri. Karena itu setiap laporan penelitian tidak bisa dikatakan sepenuhnya akurat berdasarkan pandangan ini.

Keempat, tingkat analisis. Menurut Ryan, hasil penelitian mengenai pengaruh kelompok sebaya dalam satu tempat tidak bisa diberlakukan secara umum. Sebab ada iklim dan konteks yang berbeda yang dialami setiap individu yang mengharuskan dia terlibat dalam kelompok sebaya. Konteks yang berbeda inilah yang kemudian menghasilkan pengalaman yang berbeda dalam keterlibatan individu dalam kelompok sebaya mereka.

Dari beberapa uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kelompok sebaya dapat memberikan pengaruh terhadap proses belajar seseorang. Dan berdasarkan contoh-contoh penelitian yang telah dipaparkan tersebut juga dapat diketahui bahwa kelompok sebaya (peer group) dapat mempengaruhi proses dan prestasi belajar siswa melalui beberapa faktor.

Pertama, faktor asosiasi. Di dalam kelompok sebaya, akan selalu terjadi proses asosiasi bagi masing-masing individu atau siswa, terutama ketika mereka dikumpulkan dalam satu kelompok bersama rekan-rekan lain yang memiliki minat dan ketertarikan terhadap hal yang sama.

Kedua, respon-resistensi. Bila dalam satu kelompok terdapat individu-individu yang memiliki karakter atau prestasi menonjol dibanding rekan yang lain, maka baik langsung maupun tidak langsung akan selalu terjadi respon di dalamnya. Respon itulah pada akhirnya yang menciptakan resistensi perubahan bagi individu-individu yang lain.

Ketiga, komunikasi. Dalam sebuah kelompok sebaya, sudah pasti komunikasi akan terjalin aktif di dalamnya. Proses dan berjalannya komunikasi yang intensif tersebut berpeluang meningkatkan kinerja akademik dan prestasi belajar siswa. Meskipun komunikasi bisa dilakukan dengan siapa saja, akan tetapi komunikasi siswa bersama kelompok sebaya mereka justru lebih memiliki peluang besar dalam meningkatkan kinerja dan prestasi akademik anak.

Keempat, persepsi. Pengamatan tidak langsung. Itulah yang terjadi dalam kelompok sebaya. Artinya, masing-masing individu dalam satu kelompok sebaya mereka akan saling mengamati bagaimana cara rekan mereka belajar. Dari pengamatan tidak langsung itulah kemudian timbul persepsi yang mengarahkan mereka untuk melakukan hal yang sama sebagaimana rekan mereka. Terutama bila rekan mereka termasuk anak yang berprestasi.

Lima, reditribusi. Sebuah kelompok sebaya akan memberikan pengaruh terhadap prestasi belajar siswa sejauh masing-masing individu dalam kelompok tersebut memiliki kemampuan reditribusi yang baik. Artinya, faktor individulah yang sangat menentukan apakah kelompok sebaya itu dapat memberikan pengaruh atau tidak. Bukan faktor kelompoknya.

Best Practice dan Rencana Tindak Lanjut (RTL), klik disini

*Rindang Bahtiar; guru Bahasa Inggris MAN 4 Kebumen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *