Ros memandangi kursi dan meja kosong di sebelahnya. Beberapa sisa sobekan kertas, alat tulis, sisa minuman dalam botol yang sudah berubah warna karena sudah lama tidak diganti dan tidak dicuci, buku-buku dan juga bungkus rokok tergeletak tidak beraturan di atas meja. Ros menghela napas;

“Ia selalu seperti itu sejak dulu, tak berubah,” Ros membatin.

Ros memberanikan diri duduk di atas kursi itu, mengelap sisa debu di atas meja dengan tangannya dan merapikan buku-buku. Tangan Ros kemudian menarik gagang laci meja. Suara derit kotak laci terasa seperti sebuah jeritan kecil yang begitu mengiris.

Kedua mata Ros terbelalak melihat isi di dalam laci. Apa yang ada di sana hampir sama dengan apa yang pernah ia lihat tiga tahun yang lalu; gulungan kabel, kotak obeng berbagai ukuran, penjepit kertas, pisau kecil. Tapi dari sekian benda-benda itu, Ros lebih terkejut begitu melihat sebuah seruling berwarna putih ada di sana.

“Seruling ini sepertinya tak pernah dimainkan lagi selama tiga tahun ini,” pikir Ros.

Ros mengambil seruling itu lalu meniup debu-debu yang menempel di sana. Di antara debu-debu yang beterbangan itu ada banyak hal yang juga turut serta, terbang entah kemana, kemudian lenyap dalam ketiadaan. Begitu Ros membatin. Ros lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Bayang-bayang masa lalu tentang bagaimana seruling itu ada di sana seperti tergelar kembali di depan matanya.

“Seruling adalah idiom yang banyak digunakan Rumi dalam puisi-puisi sufinya,” katanya saat ia menemukan alat itu di sebuah gudang arsip sekolah yang Ros bersihkan setelah lama tempat itu tidak lagi digunakan.

“Kamu tahu kenapa begitu?” tanya Ros waktu itu.

“Karena alat ini baru berfungsi kalau di tiup. Artinya dia baru melahirkan irama kalau ada nafas yang mengalir di dalamnya. Tapi nafas berada dalam tubuh selama ruh ada di sana. Jika ruhnya sudah diambil oleh pencipta, maka nafas berhenti,” jawabnya sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh percaya diri.

“Luar biasa. Baru kali ini saya tahu orang sejarah paham puisinya Rumi,” jawab Ros.

“Hahaha…itulah yang tidak banyak diketahui orang tentang saya.”

“Selain seruling, Rumi juga menggunakan diksi gitar dalam puisi-puisinya. Tahu maknanya?” tanya Ros.

Ia tertawa. “Nah kalau itu bacaan saya belum sampai,” jawabnya sambil terkekeh-kekeh.

“Gitar baru akan melahirkan irama yang jernih manakala perutnya kosong. Rumi mengibaratkan gitar itu dengan orang yang puasa. Jika gitar bisa melahirkan irama indah saat perutnya kosong, maka suara doa seorang hamba juga akan jernih terdengar di langit sama dalam keadaan perutnya kosong atau puasa,” papar Ros.

Ia lalu meniup seruling itu dengan nada yang tidak beraturan dan kemudian tertawa terpingkal-pingkal seperti menertawakan ketidakmampuannya sendiri memainkan alat musik tiup itu.

“Saya kalau tidak ada temannya tidak berani masuk ruangan ini,” katanya sambil meletakkan serulingnya di atas rak. Lalu ia duduk sambil menyalakan rokok kretek kesukaannya.

“Memang kenapa?” tanya Ros.

“Tempat ini penuh misteri,” jawabnya. Ia kemudian bercerita panjang lebar bagaimana ruangan itu dibuat dan berbagai kisah mistis lain yang menyertainya. Ros tak menanggapi dan terus mengumpulkan kertas-kertas arsip yang berserakan untuk kemudian ditatanya secara beraturan di atas rak.

“Kau percaya?” tanyanya.

“Aku percaya tapi tak peduli,” jawab Ros.

Ia tertawa ngakak mendengar jawaban Ros. “Jawaban yang bagus.”

Ros kembali memandangi seruling itu dengan perasaan layu dan lalu memasukkannya kembali ke dalam laci. Saat Ros mendorong laci itu ia seperti sedang menutup seluruh cerita tentangnya.

“Ia sudah tidak di sini lagi.”

Ros membatin. Ada kesedihan yang masih tertinggal di dalam hati Ros meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Ros berusaha menerima bahwa kepergian dan kehilangan adalah hal yang wajar meskipun tetap menyedihkan. Dan kehilangan yang menyebabkan kesedihan begitu mendalam tak ubahnya seperti perang; ada kecamuk perasaan, harapan yang timbul tenggelam dan juga ketidakmungkinan bahwa mereka yang telah pergi akan benar-benar terganti.