Oleh: SRA
“Aku hanya ingin mendengar satu kata yang terucap dari bibirmu, bahwa setelah keberangkatanku kamu masih akan tetap menunggu; menungguku,” kataku pada Asri.
Senja kian redup. Namun beberapa anak masih tampak ramai bermain basket di halaman sekolah.
Asri diam. Sesekali kedua tangannya mempermainkan ujung jilbab putihnya yang melambai-lambai diterpa angin.
“Bagaimana?” tanyaku lagi dengan tidak sabar.
Asri masih diam.
Dua lembar daun mangga jatuh di atas meja, tepat di tengah-tengah antara aku dan Asri. Apakah ini pertanda perasaan Asri pun sudah gugur terhadapku? Aku berharap tidak.
“Asri, aku hanya ingin mendengar satu kata yang terucap dari bibirmu bahwa kamu masih akan selalu menungguku. Bagaimana? Kamu mau mengatakan itu, kan?” aku terpaksa mengulangi kata-kataku.
“Kamu tahu, betapa tidak mudahnya menunggu,” jawab Asri.
“Kepergian akan selalu berarti penderitaan bagi dua jiwa yang sebenarnya saling memerlukan,” lanjutnya.
“Jadi..!.”
“Jadi kalau kamu pergi, aku pun ingin mendengar bahwa hanya ada satu orang yang boleh memilikimu; aku,” jawab Asri.
“Pasti. Pasti hanya kamu yang boleh memilikiku,” jawabku spontan.
“Kalau begitu aku pun akan selalu menunggumu,” jawab Asri.
Senja menjadi saksi bagi ikrar kami berdua. Dan suara riuh anak-anak yang bermain basket bagaikan suara latar dalam sebuah pertunjukan opera di mana kami berdua sebagai pemeran utamanya.
Satu tahun berlalu.
Aku tinggal di Jakarta sementara Asri masih harus menyelesaikan tugas-tugas pendidikannya sebelum lulus dari kelas 12. Sebenarnya aku berharap Asri bisa melanjutkan pendidikan strata satunya di kampus yang sama denganku. Aku tinggal di asrama putera dan dia tinggal di asrama puteri. Tapi keluarganya sepertinya memiliki rencana lain. Ia hendak disekolahkan dalam salah satu perguruan tinggi di Jakarta namun tidak dijelaskan di kampus mana.
Padahal, seandainya bisa satu kampus denganku, setidaknya aku tidak terlalu mengkhawatirkannya. Aku sendiri bisa dikatakan sangat beruntung karena bisa kuliah melalui beasiswa penuh dari sebuah yayasan di Jakarta. Dan sebagai konsekuensinya aku harus bersedia tinggal di asrama, hidup di bawah kontrol peraturan yang sangat ketat dan sangat membatasi interaksiku selain hanya dengan kedua orangtuaku. Maka sejak saat itulah aku seperti putus hubungan dengan Asri.
Satu tahun berlalu.
Aku nyaris tidak pernah menghubungi Asri selain hanya memikirkannya, bertanya-tanya dalam hati, mendoakannya agar ia setia pada janji dan ikrar yang pernah kami sepakati dulu. Hanya itu yang bisa aku lakukan meskipun aku harus menanggung kegelisahan akibat rindu yang teramat mendalam.
Tanpaknya memang benar bahwa jarak dan waktu yang memisahkan dua jiwa yang sebenarnya saling membutuhkan makin memperbesar dinding-dinding kerinduan. Dan aku tidak tahu kapan aku bisa menjebol dinding yang kian hari kian tebal itu.
“Faizur, aku lihat dari tadi kamu seperti orang kebingungan. Apakah ada kesulitan dalam mengikuti pelajaran saya?”
Suara Ustad Asrar mengagetkanku. Ustadz yang masih sangat muda, yang mengampu pelajaran Tauhid itu memandangku. Aku hanya menunduk saat dia berjalan mendekatiku.
“Apa kamu kurang sehat?” tanyanya lagi.
“Tidak, ustadz.”
“Lalu kenapa?”
Aku berusaha menutupi alasan yang sebenarnya bahwa sejak tadi aku memang tidak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran Ustad Asrar karena memikirkan Asri.
“Tidak apa-apa Ustad.”
“Tidak mungkin tidak ada apa-apa. Coba aku lihat catatanmu,” pintanya.
Astaga, celaka. Aku lupa menutup buku yang berisi puisi-puisi cintaku yang aku tulis untuk Asri. Ustad Asrar yang terlanjur melihatnya segera mengambil buku itu dari hadapanku dan membacanya keras-keras.
Masih adakah debaran yang sama
dalam hatimu
saat gelora kerinduanku tak bisa dibendung?
Kini tidak ada bedanya lagi bagiku
siang dan malam membuat hatiku
tidak benar-benar bisa beristirahat;
dari mengingatmu
“Cieeee…..cieeeee”
Seisi kelas bergemuruh setelah Ustadz Asrar membaca puisiku.
“Rupanya ada yang lagi jatuh cinta dan jago bikin puisi di kelas ini,” kata Ustadz Asrar sambil meletakkan buku itu kembali di depanku.
“Penyair baru sudah lahir rupanya,” kata Rafi, ketua kelasku yang duduk persis di depanku.
“Ya, selamat untuk Faizur. Dan malam nanti kamu menghadapku,” kata Ustadz Asrar yang disambut tepuk tangan anak-anak seisi kelas.
“Pengadilan cinta,” seru mereka.
Mati aku. Sudah bisa kutebak bahwa nanti aku akan diintrogasi macam-macam. Tapi tidak apa-apa. Aku tidak mungkin mundur dan tidak akan mundur. Dan seandainya aku harus menerima sanksi terberat seperti dikeluarkan dari asrama ini, mungkin aku dengan senang hati akan menerimanya.
“Cinta tidak hanya perlu diperjuangkan tapi juga perlu pengorbanan,” pikirku.
Bersambung ….!