Oleh: SRA
Deretan buku dan kitab-kitab tertata rapi dalam sebuah rak kayu bercat cokelat dalam sebuah ruang kamar. Ruang kamar itu tidak terlalu luas karena hanya cukup menampung mungkin tiga orang saja. Selain rak buku, terdapat sebuah meja dan dua buah kursi kecil di pojokan serta sebuah kasur busa yang digulung. Selebihnya adalah lukisan kaligrafi dan mahfudzat (kata-kata mutiara Arab) yang hampir memenuhi seisi dinding kamar.
Ini adalah untuk pertamakalinya aku memasuki ruang kamar pribadi Ustadz Asrar yang tampaknya memang didesain sebagai ruang perpustakaan pribadi, ruang tidur dan juga ruang konsultasi. Konon, jika ada anak-anak penghuni asrama melakukan pelanggaran, kamar inilah yang biasa digunakan Ustadz Asrar untuk memberikan pembinaan. Dan malam itu aku menghadap beliau gara-gara buku puisiku siang tadi.
“Tidak usah takut. beliau tidak galak,” kata Tsabit menghiburku sebelum berangkat menghadap Ustadz Asrar.
“Ya. Hukumannya juga tidak berat, asalkan apa yang ditanyakan harus dijawab dengan jujur,” Ubay menimpali dan aku mengangguk saja.
“Tapi kalau sampai kamu ketahuan berbohong,” lanjut Ubay, “disitulah sisi lain Ustadz Asrar akan terlihat. Tidak ada ampun.”
Aku menghela napas. Jantungku berdegup hebat, sekujur tubuh terasa dingin dan merasa begitu sangat gugup. Saat menunggu kedatangan Ustadz Asrar aku berusaha mengatasi perasaan gugupku dengan memperhatikan beberapa mahfudzat dan aku tertarik pada kata-kata Ibnu Arabi yang agak mencolok di antara tulisan-tulisan yang lain.
Innal muhibba idzá ahabba habíbahú talaqqáhu yabdzulu fíhi má lá yabdzulu.
“Waww.. Ibnu Arabi memang luar biasa,” aku membatin dan membayangkan kata-kata itu seperti sedang diucapkan Ibnu Arabi langsung kepadaku. Di dalam kata-katanya itu tersirat makna betapa orang-orang yang jiwanya sedang tersulut api cinta, mereka akan mencurahkan segala-galanya sampai-sampai sesuatu yang mustahil dicurahkan pun ingin mereka curahkan.
Aku hanya geleng-geleng kepala membaca pernyataan Ibnu Arabi yang mungkin terdengar bombastis bagi orang lain namun pasti akan dibenarkan oleh mereka yang sedang dilanda api asmara.
“Assalamualaikum,” suara Ustadz Asrar mengagetkanku. Aku bangkit dari dudukku, menjawab salam dan menyalaminya.
“Sudah dari tadi, Mas Faizur?”
“Belum lima menit, Ustadz,” jawabku.
“Oh, berarti masih bisa dimakan dong,” candanya sambil tersenyum.
“Oh, iya Ustadz, masih bisa,” sahutku.
Kami tertawa dan suasana itu cukup membantu mengurangi rasa gugupku.
“Sudah paham kenapa Mas Faizur saya panggil ke ruangan ini?” tanya Ustadz Asrar tanpa basa-basi.
“Paham Ustadz.”
“Apa?”
“Soal puisi siang tadi. Saya mohon maaf ustadz. Insya Allah saya tidak akan mengulangi lagi,” jawabku tegas.
Ustadz Asrar tersenyum. Ia kemudian bercerita dengan panjang lebar bahwa dirinya sama sekali tidak mempersoalkan puisi-puisi yang aku tulis. Bahkan ia memberikan pujian dengan menyebut puisi-puisiku cukup bagus.
“Sangat romantis Mas. Tapi ngomong-ngomong puisi itu ditujukan pada siapa?”
“Teman sekolah dulu Ustadz. Tapi saya sudah tidak berhubungan lagi dengan dia sejak saya di sini,” jawabku dengan jujur. Aku ingat pesan Ubay bahwa apa yang ditanyakan harus aku jawab dengan jujur.
“Pacarmu?”
“Bisa dikatakan begitu, Ustadz. Tapi saya belum pernah bonceng dia, menyentuh dia, apalagi berduaan di tempat yang sepi. Kami hanya berbicara saat di kelas. Selebihnya lewat wa.”
Ustadz Asrar mengangguk. “Kamu pacaran tapi belum pernah bonceng dia, menyentuh dia dan khalwat sama dia? Kok bisa. Bagaimana saya bisa percaya itu, apalagi di zaman seperti sekarang,” cecar Ustadz Asrar.
Aku kembali menghela nafas. “Saya tidak tahu bagaimana caranya biar ustadz percaya. Tapi demi Allah saya bicara apa adanya ustadz.”
Ustadz Asrar kembali mengangguk. “Siapa guru yang paling kamu idolakan dulu di sekolah?”
“Ada satu ustadz. Namanya Ibu Yuhana. Dia guru agama saya.”
“Pernah memberimu nasihat?”
“Pernah.”
“Apa nasihatnya?”
“Dia pernah bilang kalau kagum dan senang pada seorang wanita itu wajar. Rasa cinta itu wajar dan suci. Tapi kesuciannya jangan dikotori dengan perbuatan yang dilarang, begitu katanya, Ustadz,” kataku.
“Dan itu yang buat kamu tidak mau bonceng pacarmu?”
Aku mengangguk. “Iya Ustadz.”
“Kalau memang begitu, berarti tidak ada yang perlu saya sampaikan lagi Mas Faizur. Saya setuju dengan gurumu itu. Jaga rasa cintamu, kalau dia memang Allah jodohkan dengan kamu, dia tidak akan kemana-mana. Dan kalau kamu memang suka menulis puisi, lanjutkan saja, tekuni saja. Siapa tahu itu nanti bermanfaat. Itu saja dari saya dan kamu boleh kembali ke kamarmu.”
Aku bernafas lega dan buru-buru pergi meninggalkan kamar Ustadz Asrar yang sudah membuatku begitu gugup sejak awal pertamakali masuk.
bersambung …