Tahun 1998, seorang lelaki yang baru bisa mengendarai motor -itupun motor pinjaman- dengan setengah ‘ngotot’ menawarkan diri untuk mengantar anaknya kembali ke pondok seusai liburan. Namanya Anwar dan usia lelaki itu sekitar 50 tahun kala itu; usia yang sebenarnya sudah cukup terlambat bila baru bisa naik motor..
“Tak perlu khawatir, bapak sudah cukup mahir,” katanya meyakinkan diri kepada anaknya. Pada sore hari, selepas menunaikan salat Asar, bapak dan anak itu pun berangkat. Jarak antara rumah mereka dengan pondok sekitar 11 km. Jarak itu merupakan jarak terjauh yang pernah ditempuh oleh si bapak dan merupakan pengalaman pertama bagi si anak berbonceng pada bapaknya yang baru bisa mengendarai motor.
Sepanjang perjalanan yang terdengar hanyalah desir angin, suara knalpot, suara-suara kendaraan lain yang berpapasan. Selebihnya adalah degup hati masing-masing. Si anak tak henti-hentinya berdoa dengan jantung yang berdegup karena khawatir. Sementara si bapak tak jauh berbeda; berkendara dengan suasana hati yang begitu entah.
Meski begitu, perjalanan mereka begitu lancar. Tidak ada hambatan berarti yang mereka hadapi. Namun di sebuah pertigaan jalan, si bapak menghentikan motor dan mematikan mesinnya.
“Turun kau! Kita tuntun motornya,” kata si bapak. Dan si anak hanya menurut meskipun bingung. Ia mengamati kedua ban motor itu karena mengira bannya bocor. Tapi tidak ada tanda-tanda bocor di sana.
“Bukannya tadi sudah diisi bensin, pak,” kata si anak.
“Iya. Masih penuh,” jawab si bapak.
“Kenapa dituntun. Ini masih dua kilometer lagi ke pondok,” si anak mulai protes karena bingung dengan tindakan bapaknya.
Sambil berjalan menuntun motornya, si bapak menjelaskan bahwa rumah-rumah yang berderet-deret di pinggir jalan di samping mereka bukan rumah sembarangan. “Itu adalah rumah bapak Amin, guru bapak dulu saat di pondok. Yang sebelahnya rumah bapak Imam, guru bapak juga. Lalu yang sebelah sana rumah bapak ….ini dan itu. Mereka semua gurunya bapak dulu,” kata si bapak.
Si anak yang mengikutinya di belakang hanya geleng-geleng kepala dengan hati yang sedikit dongkol. “Tapi mereka tidak di rumah. Pintunya tertutup. Jadi untuk apa repot-repot turun,” si anak kembali protes.
Si bapak tak menjawab. Ia terus menuntun motornya hingga sampai di pelataran pondok. Saat akan pulang, si bapak kembali menuntun motornya dan mungkin baru dikendarai di tempat tadi di mana mereka berdua turun. Sampai si bapak meninggal dunia di tahun 2000-an, si anak tidak mendapatkan jawaban apa pun dari bapaknya atas pertanyaan yang pernah ia tanyakan dengan perasaan dongkolnya kala itu.
Tetapi, ketika beberapa tahun ia menyelami dunia pondok pesantren, ia mulai memahami sikap dan tindakan ‘di luar nalar’ yang pernah diperlihatkan oleh alm.bapaknya yang oleh orang-orang pesantren dikatakan sebagai sikap tawadhu’, cabang dari kemuliaan akhlak dan adab dalam Islam yang dibentuk oleh konfigurasi ilmu, latihan pembiasaan, keimanan dan rasa dalam beragama.
Tidak mudah memang memahami ekspresi dari orang-orang yang di dalam hatinya diliputi oleh perasaan tawadhu’. Orang lain mungkin akan memandang sebagai sebuah kegilaan bila seseorang harus menuntun motornya sepanjang dua kilometer saat melintas di depan deretan rumah gurunya dengan alasan rasa hormat. Tetapi justru ada perasaan katarsis dan kepuasaan batin yang tak bisa dilukiskan bagi pelakunya dengan melakukan tindakan-tindakan semacam itu.
Ukasyah pernah mendapatkan cambukan yang tak disengaja yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, yang membuat Nabi begitu gelisah karenanya. Saat Ukasyah meminta hak balasan atas tindakan Nabi tersebut, ia tidak menuntut untuk mencambuk Nabi sebagai balasan, melainkan hanya meminta mencium perut Rasulullah Saw dengan penuh tawadhu’.
Konon, ketika Imam Muslim hendak meneliti cacat sanad sebuah hadis kepada Imam Bukhari, ia tidak dapat menyembunyikan rasa hormat dan tawadhu’nya kepada tokoh paling terkemuka dan gurunya para guru di bidang hadis itu. Ia merasa belum cukup memberikan rasa hormatnya sebagai murid bila hanya dengan menyalaminya, menciumi tangan, kening dan merangkulnya sampai kemudian meluncur sebuah ungkapan yang dicatat dengan baik oleh Adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyár al-A’lam al-Nubalá;
Da’ní uqabbil rijlaika yá ustadza al-ustadzín wa sayyidi al-muhadditsín wa thabíbu al-hadíts fí ‘ilalihí. (Biarkanlah aku mencium kedua kakimu, wahai gurunya para guru, pemuka para ahli hadis dan pembedah terkemuka dalam kajian ‘ilal hadis).
Ini hanya sebagian sangat kecil dari kisah-kisah tentang perangai mulia seorang murid kepada gurunya. Ini hanya sekelumit kecil tentang bagaimana sikap tawadhu’ seseorang kepada orang lain yang dihormati karena keluasaan ilmu dan ketinggian takwanya. Ini hanya satu titik debu cerita tentang bagaimana akhlak diperlihatkan oleh orang-orang yang hatinya tetap tunduk dalam keimanan mereka kepada Allah dan hormat kepada para ulama, para guru, para kiai yang memiliki tugas untuk mengajarkan dan menjaga hukum-hukum-Nya.
Sayangnya banyak pihak berbicara terlalu banyak dengan rujukan yang terlalu sedikit. Mereka berargumen terlalu luas dengan data yang terlalu terbatas. Trans7 salah satunya.