Oleh: Suratno*
Bagaimana mengekspresikan rasa cinta yang benar kepada Nabi? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab sebab sampai saat ini belum ada rumusan yang tunggal tentang bagaimana ekspresi cinta yang sebenarnya. Karena tidak ada cara tunggal dalam mengungkapkan cinta kita kepada Rasulullah Saw, maka ribuan bait syair dan madah yang berisi pujian dan ungkapan cinta terus mengalir dari ujung pena para ulama.
Memasuki bulan Rabi’ul Awal ini, kita akan bersua kembali dengan fenomena keagamaan yang memperlihatkan ekspresi cinta dan kegembiraan masyarakat Muslim kepada Rasulullah Saw. Rabi’ul Awal, salah satu bulan yang dihormati oleh umat Islam karena merupakan bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw telah tiba. Biasanya, di bulan ini ada berbagai macam aktivitas yang dilakukan umat Islam dalam rangka memperingati lahirnya Rasulullah Saw yang menurut pendapat yang masyhur hal itu terjadi pada tanggal 12 Rabi’ul Awal.
Di berbagai belahan negara Muslim di dunia, bulan kelahiran Rasulullah Saw diperingati dengan berbagai macam cara. Di Tunisia misalnya, merayakan kelahiran Nabi Saw dilakukan dengan cara membagikan permen kepada orang-orang terkasih setelah sebelumnya diawali dengan pembacaan Qasidah Al-Hamziyah karya Imam Al-Bushiri yang salah satu karyanya juga sangat populer di Indonesia, Qashidah Al-Burdah.
Bukan hanya di negara Muslim dan Arab saja kelahiran Nabi Saw dirayakan. Di beberapa negara Eropa seperti Inggris, masyarakat Muslim di sana juga merayakan kelahiran Nabi Saw dengan melakukan pawai sembari membaca salawat dan takbir di sepanjang jalan. Sementara di negara kita sendiri, perayaan kelahiran Nabi Saw juga dikemas dalam berbagai macam acara seremonial seperti pengajian umum dan pembacaan salawat. Semua itu dilakukan dalam rangka mengungkapkan rasa syukur dan kegembiraan atas lahirnya Rasulullah Saw sekaligus ekspresi cinta kepadanya.
Meski begitu, memperingati kelahiran Rasulullah Saw dalam perjalanannya melahirkan silang pendapat di kalangan umat Islam sendiri, khususnya di negara kita. Ada yang setuju kelahiran Nabi Saw dirayakan, tapi ada juga yang tidak setuju. Kedua pendapat ini tentu saja dibangun berdasarkan argumentasi masing-masing yang merujuk pada berbagai literatur yang ada meskipun di antara kedua pendapat tersebut masih berada dalam koridor saling menghargai satu sama lain.
Terlepas dari silang pendapat tentang perlu tidaknya merayakan kelahiran Rasulullah Saw, bagi kita yang bergelut dalam dunia pendidikan, ada satu pesan Rasulullah Saw yang sangat relevan untuk terus disemaikan dalam dunia pendidikan serta diaktualisasikan sampai kapan pun. Dalam salah satu riwayat, Rasulullah Saw menegaskan melalui sabdanya bahwa ia diutus oleh Allah Swt untuk menyempurnakan akhlak; innamá bu’itstu li utammima makárima al-akhláq.
Konsen Rasulullah Saw dalam rangka menyempurnakan akhlak berdasarkan sabdanya tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat Arab yang dihadapi beliau waktu itu sama sekali bukan masyarakat yang bodoh dan terbelakang. Hal ini dibuktikan antara lain ketika Allah Swt memberikan tantangan kepada masyarakat Arab untuk membuat satu surat dan atau satu ayat yang mampu menandingi keindahan bahasa Al-Qur’an. Tantangan ini menurut sementara mufassir tidak mungkin ditujukan kepada kelompok masyarakat yang bodoh secara intelektual.
Allah Swt memberikan tantangan demikian karena berdasarkan fakta sejarahnya masyarakat Arab waktu itu dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kecerdasan, terutama kecerdasan bahasa sehingga melahirkan ahli syair yang terkemuka. Jika kemudian kita mengenal istilah Jahiliyah yang disematkan kepada masyarakat Arab kafir waktu itu, hal itu tidak lain karena kemerosotan akhlak mereka, kekeringan spiritual yang menimpa mereka serta pengingkaran mereka terhadap kebenaran yang sebenarnya mereka pahami.
Tidak mengherankan kalau Rasulullah Saw kemudian menegaskan dirinya diutus bukan untuk mengajari masyarakat di sekitarnya yang bodoh agar menjadi pandai, melainkan memperbaiki buruknya akhlak orang-orang yang pandai yang menjadikan mereka terlihat seperti orang yang bodoh. Sampai di sini dapat digarisbawahi bahwa kepandaian yang tidak dibingkai dengan kemuliaan akhlak menjadikan seseorang terlihat seperti orang yang tidak berpendidikan atau bodoh.
Maka salah satu cara efektif memperingati kelahiran Rasulullah Saw adalah dengan meneladani akhlak beliau. Al-Qur’an mensifati Rasulullah Saw sebagai uswatun hasanah, suri tauladan dalam hal kebaikan. Hal ini diharapkan dapat memotivasi kita untuk mencontoh akhlak baik beliau melalui berbagai latihan dan pembiasaan. Dalam salah satu maqalah disebutkan bahwa jika seseorang mencintai orang lain, maka ia akan berusaha mengikuti dan meniru kebiasaannya. Dengan demikian, jika kita mencintai Rasulullah Saw, berarti kita harus berusaha mencontoh akhlak budi pekertinya. Wallahu A’lam (ed.CRs)
*Penulis adalah Kepala MAN 4 Kebumen