Oleh: Mufita Wafiana*
Salah satu problem klasik yang masih membayang-bayangi dunia pendidikan kita saat ini adalah praktik antagonisme dalam pendidikan. Konsepsi awal mengenai antagonisme pendidikan dilontarkan antara lain oleh Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan dan teoritikus pendidikan asal Brasil yang pemikiran-pemikirannya sangat berpengaruh di dunia.
Kata ‘antagonis’ jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah ‘orang yang suka menentang’, melawan dan sebagainya. Dalam dunia peran, antagonis adalah tokoh yang berperan melawan aktor utama sehingga menimbulkan konflik. Karena perannya yang selalu melawan, tokoh antagonis menjadi sangat menonjol atau dominan hingga tanpa kehadiran tokoh antagonis ini sebuah peran atau drama seakan-akan jadi hambar, kurang seru dan tidak menarik sama sekali.
Sisi ‘kemenonjolan’ atau dominasi inilah yang digunakan Freire untuk mengkaji persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan. Menurut Freire sebagaimana dielaborasi Jones Irwin dalam Paulo Freire’s Philosophy of Education, antagonisme pendidikan terjadi karena proses pendidikan yang tidak efektif akibat relasi guru dan murid yang kurang seimbang.
Indikasi terjadinya antagonisme dalam dunia pendidikan terlihat ketika guru memahami tugasnya sebagai pihak yang mengajar, sementara murid belajar; guru berpikir, murid dipikirkan; guru bicara, murid mendengarkan; guru mengatur, murid diatur. Demikian seterusnya. Dengan suasana pendidikan seperti itu, maka dalam sebuah kelas proses belajar mengajar hanya berpusat pada guru dan guru itulah yang mendominasi jalannya pembelajaran.
Menurut Freire, antagonisme pendidikan di satu sisi mungkin dapat mewujudkan reformasi. Hanya saja perubahan yang ditimbulkan sangat kecil atau tidak begitu relevan; “..antagonistic educational politics can bring about minor reform without changing.” Itu artinya, dominasi pendidik dalam suatu proses pembelajaran secara tidak langsung membatasi berkembangnya potensi yang dimiliki oleh masing-masing anak didik.
Beberapa kalangan menyebut bahwa gagasan-gagasan Freire diantaranya tentang antagonisme pendidikan banyak diadopsi oleh pemikir-pemikir pendidikan radikal yang memandang pendidikan sebagai proses untuk memproduksi kesadaran kritis, proses pembebasan manusia dari dehumanisasi akibat eksploitasi kelas, hegemoni dan dominasi. Namun gagasan Freire tersebut juga sangat relevan untuk dijadikan sebagai alat untuk menganalisa dunia pendidikan kita saat ini seiring dengan diberlakukannya kurikulum merdeka oleh pemerintah.
Seperti yang kita pahami bahwa kurikulum merdeka memberikan keleluasaan kepada pendidik untuk menciptakan pembelajaran yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan belajarnya. Pertanyaan relevannya kemudian adalah sejauh mana kompetensi pendidik untuk dapat menciptakan pembelajaran yang berkualitas mengingat kemampuan mencipta tersebut memerlukan kreatifitas dan inovasi yang selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tanpa keterampilan dan kreatifitas yang memadai, tidak menutup kemungkinan kurikulum merdeka hanya akan menciptakan antagonis-antagonis pendidikan dengan pola-pola yang baru. Survei PISA di tahun 2019 masih menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara di dunia dalam hal kualitas pendidikan. Banyak pengamat menilai bahwa kompetensi pendidik yang belum memadai ditambah sistem pendidikan yang terlalu kuno menjadi salah satu penyebabnya.
Untuk itu, hemat penulis, salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi masalah di atas adalah dengan meningkatkan keterampilan literasi di kalangan pendidik. Membaca menjadi indikator dasar untuk meningkatkan literasi. Hanya saja pembaca kita masih menjadi pembaca pasif, bukan pembaca kritis. Pembaca pasif biasanya beranggapan bahwa apa yang mereka baca merupakan sumber pengetahuan yang final sehingga pembaca seperti ini tidak termotivasi untuk melengkapi dengan bacaan lain, baik sebagai bacaan pembanding maupun penguat.
Padahal idealnya, ketika seseorang membaca sebuah buku teori, maka ia harus menyediakan minimal lima buku lainnya sebagai pembanding teori, penguat teori atau sebagai buku pengembangan atas teori tersebut. Masalahnya adalah seberapa besar lembaga pendidikan yang ada di negara kita menyediakan anggaran untuk melengkapi sarana prasarana kepustakaannya? (cr,ed)
*Mufita Wafiana, S.Pd, guru sosiologi dan pembina Kelompok Ilmiah Remaja MAN 4 Kebumen