“Bukankah untuk menjadi manusia yang tidak berguna, kita tidak perlu sekolah?!”
Itulah kata-kata Pak Rohmudin yang masih aku ingat hingga saat ini. Kata-kata yang ia sampaikan di awal-awal aku menginjakkan kedua kakiku di sekolah dulu sebagai siswa baru. Lebih tepatnya pada saat aku dan ibuku waktu itu, diminta datang ke sekolah untuk menandatangani pakta integritas untuk dijalankan oleh semua siswa baru.
Meski sudah berlalu sekitar sepuluh tahun, kata-kata Pak Roh itu (begitu ia biasa dipanggil kala itu) masih terngiang-ngiang di kepalaku. Terutama pada saat aku harus menangani siswa-siswi ‘bermasalah’ di sebuah sekolah swasta, tempatku bertugas sebagai guru BP sekarang. Kata-kata Pak Roh itulah yang kerap aku sampaikan kepada mereka.
“Makanya kamu disekolahkan oleh kedua orangtuamu, setidaknya biar kamu tahu, apa potensimu yang bisa kamu manfaatkan agar berguna bagi orang lain nantinya,” kataku dengan suara agak tinggi pada Liana.
Ini sudah kedua kalinya aku memanggil Liana atas laporan wali kelasnya dengan kasus yang sama; jarang masuk dan tidak mengerjakan hampir semua tugas yang diberikan guru-gurunya.
“Dan aku tidak ingin mendengar alasan yang sama dari kamu sebagaimana beberapa minggu kemarin, saat pertamakali kamu saya panggil ke tempat ini; lupa.”
“Tapi saya memang lupa, Bu,” jawab Liana.
“Saya meragukan alasan lupa itu. Sebab guru-gurumu yang memberi tugas sudah sangat sering mengingatkan di grup watsap kelasmu, kan.”
Liana kembali terdiam. Kedua tangannya hanya mempermainkan ujung jilbab putihnya dengan gerakan perlahan. Wajahnya menunduk dan beberapakali kulihat menghela nafas. “Sekarang temui guru-gurumu yang memberi tugas. Saya akan kasih surat pemberitahuan bahwa kamu sudah menghadap saya dan siap mengerjakan tugas. Bagaimana, kamu sanggup?”
“Iya, bu.”
Lalu kuserahkan selembar kertas berisi pemberitahuan yang kemudian ia tanda tangani. Liana berjalan meninggalkan ruanganku dengan langkah lesu. Aku memperhatikannya dari belakang sampai kemudian tubuhnya menghilang di antara lalu-lalang teman-temannya.
Sambil membuka catatan-catatan tentang siswa lain yang dianggap maupun yang sudah terbukti bermasalah, ingatanku kembali pada semasa aku masih menjadi siswi, jadi murid Pak Roh, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Sesungguhnya aku merasa malu pada diriku sendiri ketika harus menceramahi murid-muridku oleh suatu masalah dan kejadian yang sama sebagaimana dulu aku pun pernah melakukannya.
Pada saat aku harus memberikan pengarahan dan bimbingan kepada anak-anak yang bolos, aku seperti sedang menceramahi diriku sendiri. Betapa aku juga dulu pernah bolos dan membuat repot guru-guruku. Lalu, jika sekarang aku dihadapkan pada tingkah murid-muridku sendiri yang kurang lebih sama dengan tingkah yang pernah aku lakukan dulu, apakah ini yang disebut karma?
Aku menarik nafas dalam-dalam sambil menutup catatan itu. Pertanyaan seperti itu pernah juga aku tanyakan kepada seorang teman. Tapi jawabannya tidak begitu memuaskanku.
“Setiap guru pasti akan selalu menemukan murid-murid semacam itu. Tidak peduli apakah guru itu memiliki masa lalu yang baik atau buruk dulu saat dia masih menjadi siswa. Jika si guru baik saat masih jadi siswa, lantas dihadapkan pada murid yang super nakal, itu namanya ujian. Tapi jika guru itu dulunya juga nakal, lalu punya murid nakal, itu namanya karma, impas,” jawab temanku.
Ah, sudahlah. Mungkin tidak perlu juga terlalu jauh menanyakan hal itu. Mau karma atau ujian, toh seorang guru tetap harus menghadapi semua itu dengan hati dan perasaan yang sama.
***
Hari masih sangat pagi ketika ponselku mengeluarkan suara notifikasi khas tanda pesan masuk. Aku yang baru saja selesai membersihkan meja makan segera membukanya. Sebuah pesan watsap dari Liana.
Selamat pagi, bu. Maaf ganggu. Minta tolong disampaikan ke wali kelas saya kalau hari kemarin sepertinya hari terakhir saya masuk sekolah. Hari dan seterusnya saya sudah putuskan untuk tidak berangkat. Saya sudah coba telp tapi tidak diangkat. Maaf, jika ibu balas wa ini dan tidak saya jawab, itu karena ini hp tetangga saya. Saya pinjam. Terima kasih bu, Liana.
Deg. Aku membaca ulang kembali pesan Liana dan kemudian secepat kilat membalasnya.
“Mohon maaf, berarti dari kemarin nomor ini yang dimasukkan Liana ke grup watsap kelasnya, bukan ponsel dia,” tulisku dan kukirim. Beberapa detik kemudian ada jawaban masuk.
“Benar bu. Saya tetangganya. Maaf banget. Kemarin ada info tugas saya lupa ngasih tahu Liana. Maklum bu, pagi saya berangkat kerja dan baru pulang sore jam setengah lima. Sampai rumah lupa.” (Bersambung).