Ukhuwah Islamiyah merupakan salah satu cita-cita penting dalam agama Islam, namun dalam kenyataannya apa yang disebut cita-cita penting ini bahkan merupakan subtansi doktrin sosial Islam belum relevan dengan al-Qur,an dan Sunnah. Gejala ini dapat ditelusuri dalam konteks Sejarah Islam, hingga detik ini umat Islam sering diwarnai oleh pertengkaran, perpecahan, dan pertempuran yang semuanya terjadi sesama umat Islam.
Ketika Nabi Muhammad wafat meninggalkan “bayi masyarakat islam” yang sangat pluralistik, secara sosio-kultural, ekonomi, geografis bahkan rasial (Bagir, 1986, p. 82). Permasalahan yang paling mendesak dan mendasar adalah problem imamah atau kepemimPinan umat Islam. Perselisihan awal bermula pada masalah tersebut. (Zahier, 1985, p. 32)
Kemelut yang terjadi tentang kepemimpinan Islam mencerminkan kebangkitan asabiyyah yang memperebutkan siapa yang paling berhak menduduki “kursi kepemimpinan” umat Islam. Golongan yang saling berkompetisi itu adalah golongan Ali bin Abi Thalib (Bani Hasyim), Golongan Abu Bakar (Bani Ta’im), golongan Umat bin Khatab (Bani Adiy) serta golongan Anshar.
Asabiyyah sering diartikan sebagai kefanatikan golongan. Para cendekiawan mendefinisikan kata asabiyyah ke dalam bahasa yang popular. Usman Raliby (cendikiawan muslim Indonesia) mengartikannya denga rasa golongan. Frans Rosenthal (Orientalis dan Sejarawan) mendefinisikan menjadi group feeling (perasaan golongan), dan Philip K. Hitti (Orientails) mengartikannya dengan tribal spirit (semangat kesukuan) atau spirit of the clan (semangt suku atau kaum) (Islam, 1993, p. 176). Selanjutnya dalam tulisan ini kata asabiyyah diartikan sebagai keterikatan personal terhadap kelompoknya yang keanggotaannya didasarkan pada hubungan pertalian darah dengan maksud untuk membela serta mempertahankan prinsip-prinsipnya.
Tampilnya Ali bin Abi Thalib untuk menggantikan posisi Utsman bin Affan, bukan berarti kondisinya lebih baik, ini bisa dipahami karena tragedi yang memilukan atas terbunuhnya khalifah Utsman telah mengguncangkan Madinah dan wilayah sekitarnya. Suatu keadaan yang sangat mencekam dan penuh dengan intimidasi (Shaban, 1991, p. 49). Dipihak lain golongan oposisi telah bersepakat bahwa malapetaka yang menimpa dunia Islam (baca: terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan) merupakan kejadian yang sangat berbahaya, khalifah terbunuh dan wafat dengan sewenang-wenang dan kejam. Dalam peristiwa ini dengan meminjam istilah Jalaludin Rakhmat bahwa ukhuwah Islamiyah untuk pertama kalinya menjadi banjir darah (Bagir, 1986, p. 96)
Perang Jamal dapat diredakan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib, dan Aisyah serta pengikutnya diperlakukan secara terhormat. Senada dengan pernyataan Syafii Maarif, meskipun perang Jamal dimenangkan oleh Ali, tetap Aisyah kemudian diperlakukan secara terhormat sesuai dengan posisinya sebagai salah seorang diantara ummahat al mu’minin (Bagir, 1986, p. 38)
Setelah selasai perang Jamal, Khalifah Ali bin Abi Thalib harus menghadapi oposisi yang sangat tegar yakni Mu’awiyah bin Abi Sofyan, gubernur Siria yang paling lama berkuasa dan paling luas daerahnya. Koalisnya dengan ‘Amr bin al-Ash inilah yang akhirnya membuyarkan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib dengan meletusnya perang Shiffin tahun 657. Pada pernag ini ukhuwah Islamiyah untuk kedua kalinya berubah menjadi banjir darah.
Kekalahan Ali bin Abi Thalib dalam tahkim mendapat protes keras dari golongan Ali bin Abi Thalib sendiri, yang kemudian kelompok ini disebut Khawarij. Menurut pernyataan Suharsono dari akhir kobaran perang Shiffin oleh sebagian sejarawan dipandang sebagai sebab fundamental terhadap perpecahan umat Islam berlarut-larut (Suharsono, 1995, p. 85). Senada dengan itu, Syafii Ma.arif berpendapat bahwa akar tunggang dari Islam yang sedang bersengketa itu dapat ditelusuri dari konflik politik antara puak-puak Arab muslim pasca perang Shiffin, dan belum sampai setangah abad setelah Nabi Muhammad wafat, bencana perang saudara telah merebak dengan luka korban dan luka Sejarah yang teramat panjang (Ma’arif, 1995, p. 85)
Penulis : Haryono Madwiredja, S.Pd. Guru Sejarah MAN 4 Kebumen, Artikel ini diadaptasi dari Karya Tulis Ilmiah saat penulis masih duduk di bangku kuliah IKIP Yogykarta di bawah bimbingan Prof. Dr. ahmad Syafii Maarif, MA.
Referensi :
Bagir, H. (1986). Satu Islam sebuah Dilema. Bandung: Mizan.
Islam, E. (1993). Ensiklopedi Islam. Jakarta.
Ma’arif, A. S. (1995). Membumikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Offset.
Shaban, M. (1991). Sejarah Islam 600-750: Penafsiran Baru. In M. Husein, Sejarah Islam 600-750: Penafsiran Baru (p. 49). Jakarta: Rajawali Grafindo Persada.
Suharsono. (1995). Gerakan Intelektual Islam: Jihad untuk Masa Depan Umat . Yogyakarta: Yayasan al ‘Arsy.
Zahier, I. (1985). Sejarah Pertumbuhan dan Gerakan Syiah. In H. Salim, Sejarah Pertumbuhan dan Gerakan Syiah (p. 32).