Mudik, sebagai sebuah proses ‘kepulangan ke kampung halaman’ tidak hanya milik para perantau. Orang-orang yang pulang ke rumahnya, ke keluarganya, setelah mereka pergi di pagi buta untuk bekerja adalah juga mudik. Para pelajar dan pengajar yang kembali pulang ke rumah masing-masing setelah menempuh perjalanan untuk belajar-mengajar, juga adalah mudik.
Di dalam tradisi mudik, ada yang pergi untuk pulang kembali yang berlangsung secara dinamis atas dorongan rasa cinta.
Ya, cintalah yang menjadi sumber energi bagi mereka yang pergi untuk pulang kembali. Cintalah yang menguasai seluruh perjuangan dan pengorbanan orang-orang pada saat melaksanakan mudik. Hanya saja dorongan cinta itu terkadang tidak benar-benar disadari sebagai sebuah daya sehingga ada yang pergi tanpa sepenuh hati dan pulang tanpa kepuasan hati.
Mereka yang pergi belajar tanpa semangat cinta di dalam hatinya hanya akan terjebak pada sebuah kegiatan yang bersifat rutin. Akibatnya mereka belajar tanpa kesungguhan, berlatih tanpa ketekunan. Hal yang sama juga berlaku bagi aktivitas dan kegiatan lain, yang apabila dilakukan tanpa landasan cinta sudah pasti menghilangkan kepuasaan jiwa.
“Cinta adalah kekuatan yang menahanku tetap berada di sini, Georgeo, menekuni apa yang aku pelajari di pegunungan ini selama empat puluh dua tahun lamanya.” Begitu kata Peter Yonas dalam Chasing Rumi, sebuah novel karya Roger Housden yang sangat menggugah itu.
Cinta memang sudah seharusnya menjadi sumber kekuatan bagi kepergian kita dalam menekuni dan mengerjakan sesuatu sehingga bila sampai waktunya kita kembali ke rumah, kita pulang dengan membawa cinta yang penuh.
Lalu di manakah kampung halaman kita yang sebenarnya, yang menjadi tujuan dari setiap kegiatan ‘mudik’?
Kampung halaman itu lebih dari sekadar tempat di mana kita dilahirkan dan dibesarkan. Kampung halaman itu adalah muasal dari kemunculan dan kehadiran kita di sini, di dunia ini. Mudik ke kampung halaman yang terlihat sebagai fenomena tahunan menjelangan lebaran tidak lebih sebagai cerminan bahwa setelah lama kita jauh berjalan pada akhirnya akan tiba waktunya pulang.
Mudik yang sejati bukanlah kepulangan kita dari berbagai amkán; tempat-tempat atau kota-kota. Tetapi mudik sejati adalah kembalinya kita minal amkán ilal mukawwin, kepulangan dari segala tempat kepada Pencipta dan Pemilik tempat, yang kemudian semua itu tersirat dalam satu kalimat inná lilláhi wa inná ilaihi ráji’ún; kita berasal-usul dari Tuhan dan akan kembali ‘mudik’ kepada Tuhan.
Dalam menempuh perjalanan ‘mudik’ kepada-Nya, tidak ada bekal yang lebih baik untuk dibawa serta selain cinta itu sendiri. Cinta yang mengejawantah dalam kesungguhan untuk mengabdi, menjaga rukuk dan sujud, serta kegigihan untuk merenungi dan menyimak seluruh kebesaran dan kuasa-Nya seiring lantunan zikir-zikir dan doa.
“Ketahuilah anakku,” kata si salik kepada muridnya, “jadikanlah Dia sebagai pemandu dalam seluruh perjalananmu, karena Dia adalah ‘Cinta’ yang sebenarnya. Apa pun kelak takdir yang akan terjadi dalam setiap perjalananmu, ‘Cinta’ akan senantiasa menemukan dan membimbingmu. Itulah sebabnya kenapa kamu harus banyak belajar menyimak.”
Selamat mudik. Selamat lebaran. Mari saling bermaafan.