“Jika kamu ingin memahami bagaimana seharusnya seseorang pemimpin, hayatilah kisah Umar bin Khattab,” begitu perintah seorang tokoh agama tatkala seseorang datang meminta restu kepadanya untuk mencalonkan diri sebagai seorang kepala daerah.

Orang itu mengangguk, entah karena memang sudah paham kisah kepemimpinan Umar atau sekadar basa-basi belaka. Tapi sangat mungkin ia tidak paham akan kisah kepemimpinan Umar dan memang tidak ada greget untuk mengetahuinya.

Sebab, setelah berhasil mendapatkan jabatan sebagai kepala daerah, beberapa tahun berikutnya saat ia sudah tidak menjabat, berbagai kasus korupsi di masa kepemimpinannya bermunculan seperti cendawan di musim hujan.

Lalu apa arti anggukan kepalanya kala itu? Tentu saja sebagai sebuah basa-basi dan kepalsuan belaka.

Di tengah kian banyaknya kasus-kasus korupsi bermunculan yang dilakukan oleh pimpinan dan pejabat negara akhir-akhir ini, kita sebagai rakyat biasa menjadi hampir putus asa melihat masa depan bangsa ini. Bangsa dengan kekayaan alam yang tak tertandingi oleh negara manapun di dunia ini seakan menghadapi apa yang disebut sebagai ordeal, percobaan yang berat, karena harus meladeni tokoh-tokoh yang serakah.

“Kamu telah mengenakan sesuatu yang tidak pantas dikenakan oleh anak seorang khalifah,” begitu hardik Umar suatu ketika saat mengetahui puterinya mengenakan sebuah kalung yang dipinjam dari kas negara dan meminta puterinya mengembalikan kalung yang dipinjamnya itu ke baitul mal.

Kemudian pada kenyataan yang terjadi hari ini, tidak sedikit orang-orang yang berada di lingkaran kekuasaan dan pemerintahan yang melangkah terlalu jauh dari apa yang pernah dilakukan oleh puteri Umar. Mereka bukan lagi meminjam, melainkan mengambil milik negara dengan keyakinan bahwa yang mereka ambil adalah hal yang pantas untuk mereka ambil.

Untuk tidak menyebut sebagai sebuah tradisi, perilaku korupsi seakan dianggap sebagai sebuah keharusan selagi ada kesempatan. Sementara di tempat-tempat lain, ada sebuah keluarga yang dengan sangat terpaksa memungut sisa makanan untuk mereka lahap agar mereka tetap bisa menyalakan harapan-harapan di dalam benaknya bahwa masih ada hari esok.

“Keanggunan dan sikap heroik dari tokoh-tokoh masa lalu itu telah menjadi sebuah mitos, kawan. Apa hebatnya mitos selain hanya sekadar cerita pengantar tidur.” Begitulah kata seorang aktivis dengan nada sendu.

Mungkin benar anggapan itu. Artinya, kemuliaan tokoh dan pemimpin-pemimpin di masa lalu tidak lagi diperlakukan sebagai sebuah data sejarah yang seharusnya digunakan untuk merumuskan bagaimana menciptakan sejarah baru di masa-masa yang akan datang.

Umar bin Khattab dengan sekian kemuliaan perangai kepemimpinannya memang tidak ada duanya. Tetapi tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar melakukan peniruan terhadap nilai-nilai kepemimpinan yang dilakukan Umar sebagai sesama manusia. Sayangnya, mereka yang sudah melakukan korupsi itu boleh jadi bukan lagi manusia.