Oleh: Salman Rusydie Anwar*

“Saat malam lebaran, ingatanku selalu terkenang pada peristiwa yang dihadapi Abu Dzar dalam sebuah ruang sidang Khalifah Umar bin Khattab,” kata seorang ayah kepada anaknya. “Dalam peristiwa itu,” lanjut sang ayah, “aku menemukan substansi dari sikap memaafkan yang begitu heroik, yang ditunjukkan oleh seorang lelaki di tengah kecamuk rasa dendam dan amarah yang mengaduk-aduk perasaannya. Begini kisahnya.”

Seorang lelaki, dengan kemarahan yang menggelegak, mendatangi Khalifah Umar. Ia datang membawa seorang pemuda untuk dituntut hukuman berat karena si pemuda itu telah membunuh ayah si lelaki tadi.

“Aku memang telah membunuh ayah lelaki ini wahai Khalifah. Tidak ada saksi saat kejadian itu berlangsung, tetapi Allah menyaksikan perbuatanku,” kata si pemuda itu dengan jujur dan meyakinkan saat Umar bertanya siapa saksinya.

“Kesalahanmu sangat berat, dan hukumanmu adalah hukuman mati,” kata Umar. Si laki-laki tadi tersenyum puas mendengar keputusan Umar. Ia merasa dendam dan kemarahan atas kematian ayahnya akan terbalaskan.

“Tapi sebelum hukuman itu dilaksanakan, aku memohon izin wahai Khalifah untuk menemui seorang anak yatim di suatu tempat. Ada amanat yang harus aku sampaikan kepadanya,” kata si pemuda.

Khalifah Umar menolak permohonan pemuda itu. “Permintaanmu tidak bisa dipenuhi kecuali kamu menunjuk seorang pengganti. Jika kamu ingkar, tidak datang pada saaf eksekusimu dilaksanakan, maka penggantimu itu yang harus menanggung akibatnya,” papar Umar.

Pemuda itu melihat pada beberapa orang di sekitarnya. “Dialah yang akan menjadi penggantiku,” kata si pemuda sambil menunjuk pada sahabat Abu Dzar Al-Ghifari. Saat mengetahui dirinya dijadikan pengganti, Abu Dzar sendiri tidak menolak sama sekali.

Umar terkejut. Semua orang terkejut. Ketika si pemuda itu pergi, orang-orang merasakan kecemasan yang sama. Mereka khawatir, sebab kalau sampai pemuda itu tidak datang di hari eksekusinya, mau tidak mau mereka harus merelakan Abu Dzar, sehabat nabi pembela kaum lemah dan rawi hadis paling terkemuka itulah yang harus menerima hukuman mati sebagai pengganti dari si pemuda tadi.

Dan pada hari dimana eksekusi itu akan dilakukan, pemuda itu tidak kunjung datang. Hingga detik-detik akhir, dari kejauhan, tampak terlihat pemuda itu datang dengan berlari.

“Hari ini..saya..saya siap menerima hukumanmu wahai Khalifah,” katanya dengan terengah-engah. “Saya tahu kalian semua mengira saya tidak akan datang. Tapi saya sekarang di sini. Saya tidak mungkin tidak akan datang. Saya tidak ingin orang-orang berkata bahwa tidak ada lagi orang Islam yang bisa dipercaya,” tuturnya.

Lelaki si penuntut itu terkejut, hatinya tergetar dengan pernyataan si pemuda tadi. Lalu ia mendatangi Abu Dzar dan bertanya apakah sahabat nabi itu sebelumnya sudah kenal dengan si pemuda tadi.

“Tidak. Aku sama sekali tidak mengenalnya. Hanya saja, saat ia menunjukku sebagai penggantinya, aku tidak bisa menolak. Aku tidak ingin orang lain berkata bahwa tidak ada lagi orang Islam yang punya rasa cinta, iba dan belas kasihan,” jawab Abu Dzar.

Si lelaki tadi makin terguncang hatinya mendengar jawaban Abu Dzar. Ia kemudian maju mendekati Khalifah Umar dan berkata, “Wahai Khalifah, hari ini aku akan mencabut semua tuntutanku terhadap pemuda ini. Aku memaafkan dan membebaskan dia dari tuntutan dan hukuman. Aku melakukan ini karena aku tidak ingin orang lain berkata bahwa tidak ada lagi rasa memaafkan di hati orang-orang Islam,” katanya.

Semua yang hadir di dalam ruang pengadilan Khalifah Umar hari itu hatinya bergetar. Keharuan menyelimuti perasaan orang-orang yang ada di sana. Mereka telah menyaksikan bagaimana kejujuran, kasih sayang dan rasa maaf yang diajarkan oleh Islam telah menjadi jalan keselamatan bagi berlangsungnya kehidupan manusia.

Sementara pada kurun kehidupan beberapa abad berikutnya, ketika kejujuran sudah berganti dengan manipulasi, ketika kasih sayang telah dihapus oleh kebencian dan rasa dendam telah mengalahkan rasa pemaafan, kehidupan telah menjadi medan perang di mana darah-darah ditumpahkan dan tubuh-tubuh tumbang sebagai korban.

“Jujurlah, belas kasihanlah dan jadilah pemaaf, nak,” kata si ayah menutup ceritanya dan melantunkan gema takbir lebaran.

*Penulis adalah dosen IANU Kampus 2 Kebumen dan kontributor freelance MAN 4 Kebumen.