Oleh: SRA
Narasi yang biasanya diusung oleh para pengkhutbah dalam menyampaikan materi ‘Idul Adha tidak lain adalah pentingnya memutus nafsu kebinatangan dalam diri melalui simbol penyembelihan hewan qurban. Selebihnya adalah kisah heroiknya Nabi Ismail As yang tanpa gentar dan penuh keberanian mempersilahkan ayahnya, Nabi Ibrahim, menjalankan perintah Tuhan untuk menyembelih dirinya.
Keberanian Nabi Ismail barangkali tidak ada duanya. Artinya, nyaris tidak ada manusia awam yang memiliki keberanian semacam itu di dunia sekarang ini sehingga ajakan untuk memiliki keteguhan iman agar memiliki keberanian berkorban demi kebenaran sebagaimana Ismail seakan-akan menjadi sebuah ajakan yang impossible.
Profil-profil mengenai diri Nabi Ismail yang banyak diceritakan dalam momentum ‘Idul Adha juga tidak beranjak dari setting keluarga, kesalehan kedua orangtuanya dan keberhasilan mereka dalam mendidik Ismail sehingga membentuk mental takwa dan berani menjalankan ketaatannya pada Tuhan walaupun harus ditebus dengan nyawa sekalipun. Pertanyaannya adalah keluarga siapakah saat ini yang memiliki paket komplit seperti itu sehingga mampu melahirkan generasi salih, iman, takwa, pandai dan berani seperti Ismail? Nothing.
Dari sekian profil mengenai diri Nabi Ismail terdapat satu profil yang belum banyak diperbincangkan oleh para khalayak yang berkaitan dengan skill atau kemampuan lain Nabi Ismail. Padahal profil kemampuan ini justru paling memungkinkan untuk diteladani dan diikuti oleh siapa saja saat ini.
Imám al-Hafíz Abi al-Fidá Isma’íl bin ‘Umár bin Katsír al-Qarsyí al-Dimasyqi dalam Qashashu al-Anbiyá mengutip riwayat Ali bin Mughirah menuliskan bahwa Nabi Saw pernah bersabda jika Nabi Ismail merupakan orang pertama yang berbicara dengan menggunakan bahasa Arab secara secara ‘jelas’ pada saat usianya masih 14 tahun.
Sementara Sa’id bin Yahya al-Amwi dalam Magházi meriwayatkan bahwa Nabi Ismail adalah orang pertama yang menjadikan kuda sebagai tunggangan dan termasuk orang yang paling mahir di zaman itu dalam menunggangi kuda, (Lihat, Imám al-Hafíz Abi al-Fidá Isma’íl, Qashashu al-Anbiyá, Beirut: Dár al-Kutub al-‘Ilmiah, 1971, hl. 139).
Dari riwayat tersebut terdapat penjelasan tentang profil kemampuan yang sangat dikuasai oleh Nabi Ismail, terutama dalam berbahasa. Keterampilan Ismail berbahasa atau berkomunikasi oleh Rasulullah Saw dikatakan sebagai man futiqa lisánuhú bi al-‘arabiyati al-bayyinati atau dalam istilah modern mungkin bisa disebut sebagai kecakapan public speaking.
Kemampuan Nabi Ismail dalam berbahasa atau berkomunikasi secara tidak langsung menunjukkan bahwa beliau memiliki kecerdasan intelektual, kemampuan memahami falsafah dan logika secara benar di saat usianya yang masih usia pelajar tingkat lanjutan pertama. Sehingga dengan kemampuan itulah Nabi Ismail mampu mengkomunikasikan suatu gagasan dan ide-idenya dengan logika bahasa jelas.
Nabi Ismail memiliki kemampuan itu sangat mungkin salah satunya karena ia mewarisi bakat ayahnya, Nabi Ibrahim yang tumbuh sebagai individu dengan kegemaran ‘membaca’; membaca alam semesta, membaca keadaan dan fenomena-fenomena kosmos sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 79-79.
Inilah satu profil kemampuan dari Nabi Ismail yang perlu juga dikhutbahkan dalam momentum Idul Adha khususnya di kalangan generasi millennial kita saat ini. Artinya dalam meneladani peristiwa kurban, mereka tidak hanya dihimbau untuk memutus nafsu kebinatangan, nafsu syahwat duniawi dan lain sebagainya. Namun yang tidak kalah penting juga bagaimana mereka memutus urat-urat kebodohan, memutus urat rasa malas yang membelit otak mereka sehingga mereka hidup di dunia yang semakin modern ini hanya berbekal mytos, bukan logos.
Untuk itu, tradisi membaca adalah hal yang mutlak ditumbuhkan karena hanya dengan membaca kita baru memiliki bahan untuk berkomunikasi dan berdiskusi secara logis. Kemampuan berkomunikasi yang jenius sebagaimana Ismail tidak mungkin tumbuh di dalam orang-orang yang kepalanya tidak pernah terisi oleh bacaan, jarang tersirami oleh ide dan wawasan yang menyebabkan makin suburnya kebodohan.
Dan kita tahu, nafsu kebinatangan biasanya lebih mudah menghinggapi orang-orang yang kering wawasan dan kurang bacaan. Setajam apa pun ‘pisau’ yang akan digunakan untuk menyembelih nafsu kebinatangan manusia dapat dipastikan tidak akan selalu mulus jika kita tidak memutus penyebab mudahnya nafsu kebinatangan itu menghantui, yakni kebodohan. Dan kebodohan bisa diurus melalui perintah dalam wahyu pertama Al-Qur’an, Iqra’; baca.
*Penulis adalah kontributor freelance MAN 4 Kebumen