Oleh: Salman Rusydie Anwar*

Pernahkah kita membayangkan dunia tanpa tulisan? Atau mungkinkah kita mengenal sekolah-sekolah dan perguruan tinggi jika tidak ada seorang pun yang bersedia menuangkan ide, gagasan dan hasil temuan mereka melalui tulisan sebagai sebuah informasi pengetahuan untuk sebarluaskan?

Sejarah tentang tulis-menulis memang menarik untuk ditelisik meski para sejarahwan sendiri masih beradu argumen tentang siapa manusia pertama yang memperkenalkan tulisan. Ali ibn Yusuf Qifti, dalam karyanya Tárikhu al-Hukamá menyebut, bahwa Nabi Idrislah manusia pertama yang mempelajari tulis-menulis. Hal yang sama juga dikemukakan Ibnu Ishaq sebagaimana dikutip Al-Hafidz Abi al-Fida Ismail dalam Qashahu al-Anbiyá’ yang mengatakan bahwa sesungguhnya Nabi Idris adalah manusia pertama yang menulis dengan pena (qalam).

Pada 3500-3000 SM, Bangsa Sumeria, Babilonia (sekarang Irak) merupakan bangsa paling tua di dunia di mana masyarakatnya memiliki bukti kemampuan menulis. Kemudian pada 3000-2000 SM, bangsa Mesir juga menunjukkan kemahiran mereka dalam menulis. Sejak saat itu, menulis menjadi alat untuk berkomunikasi, alat mengartikan wahyu, menyampaikan pesan dan gagasan kepada orang lain.

Lalu sekarang, jika bukan karena jasa penulis, apakah mungkin lahir para kaum terdidik. Seluruh proses pendidikan, sejak tingkat paling dasar hingga paling tinggi sekalipun, semuanya berhutang jasa kepada para penulis. Sebab karena merekalah proses mempelajari ilmu yang dilakukan dengan membaca sesuatu yang tertulis bisa berlangsung.

“Jika kamu bukan anak seorang raja, menulislah!” demikian pernyataan Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali al-Thusi al-Syafii’ atau yang biasa dikenal dengan panggilan Imam al-Ghazali. Al-Ghazali, seorang filsuf dan teolog Muslim Persia, dengan segala kecerdasan dan produktivitasnya dalam menulis, yang di kalangan sarjana Barat dikenal dengan sebutan Algazel, telah dikukuhkan oleh mayoritas ulama sebagai Hujjatul Islam.

Pesan yang hampir serupa juga disampaikan oleh pengarang kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat, hilang dari sejarah.” Baik Al-Ghazali maupun Pram, secara tidak langsung ingin menggugah kesadaran kita semua bahwa berkerja dalam dunia pendidikan untuk membangun peradaban itu bukan sekadar menjadi pendidik, tapi sekaligus juga menjadi penulis.

Copernicus, seorang astronom hebat yang menjadi cikal-bakal lahirnya Revolusi Sains, betapa pun jeniusnya dia, tidak mungkin ide dan penemuannya akan dipelajari dan namanya dikenang selama 481 tahun sampai sekarang seandainya dia tidak menulis De Revolutionibus Orbium Coelestium yang kemudian diterjemahkan menjadi Al-Jamáhir fi Ma’rifati al-Jawáhir.

Lalu bagaimana dengan kita sekarang?

Sejarah memang berubah. “(Dan) sejarah memang selalu terdiri dari pelbagai estafet,” begitu ungkap Jerry Rubin, seorang tokoh gerakan anti perang Vietnam dalam bukunya Growing (Up) At 37. Jika kaum cerdik cendekia sejak era Yunani-Romawi Kuno sampai dengan awal Abad Modern selalu menjaga kebanggaan dan martabat mereka dengan penelitian dan publikasi (penulisan), maka era sekarang mulai mengalami perubahan.

Era kejayaan literasi yang menginspirasi lahirnya peradaban-peradaban menakjubkan di seluruh dunia itu mulai sayup-sayup terdengar, menjadi gumam-gumam kecil yang disuarakan mereka yang sedari awal memang memilih jalan sunyi sebagai penulis. Jika di masa keemasan Bani Abbasiyah, di bawah kekhalifahan Harun al-Rasyid, negara mengapresiasi penulis bahkan dengan memberikan bongkahan emas seberat karya tulis yang dihasilkan, maka saat ini sangat sulit mendapatkan apresiasi serupa yang diberikan oleh negara kepada penyerat kata-kata.

Meski tidak mungkin berharap negara saat ini memberikan apresiasi yang serupa -sebagaimana pemuka-pemuka Bani Abbasiyah- kepada pegiat literasi masa kini, namun siapa pun mereka yang memutuskan untuk menyalakan kembali api literasi yang hampir padam itu, dan siapa pun mereka yang melantangkan kembali gumam-gumam kepenulisan yang hampir tenggelam itu, kita harus menjadi yang terdepan memberi mereka pujian penghormatan.

Fajar Baru di Bumi Semondo: Gumam Pelajar MAN 4 Kebumen, adalah sebuah ikhtiar untuk menegaskan kepercayaan kita bahwa kesadaran berliterasi belum sepenuhnya punah. Para pelajar MAN 4 Kebumen ini, dengan beragam latar belakang sosial, ekonomi dan problematika psikologi mereka masing-masing, telah memutuskan untuk ikut andil menjaga dan merawat salah satu warisan peradaban intelektual paling kuno di dunia ini, yaitu tulis-menulis.

Secara tematik dan gaya ungkap, apa yang mereka tuangkan dalam buku ini sebagian memang masih terkesan klise karena melulu mengungkapkan tentang bagaimana mereka mengamati, menilai dan memilih sesuatu (sekolah) berdasarkan sudut pandang yang terlalu subjektif-individualis di mana karya seperti ini merupakan ciri-ciri tulisan abad Romantik. Maka tidak heran jika sebagian isi tulisan yang disajikan dipenuhi ungkapan suasana yang melankoli, dialog yang menggambarkan ketidakberdayaan dan keterpaksaan akibat pergolakan batin setelah tidak menemukan pilihan lain.

Tapi memang masih ada waktu untuk berubah. Sesudah terbitnya Metamorfosa hingga Fajar Baru di Bumi Semondo, MAN 4 Kebumen nampak selalu menjadi fokus utama untuk di-framing sedemikian rupa agar memunculkan citra tertentu di hati pembaca lewat tulisan kata-kata. Apakah MAN 4 Kebumen yang sebesar dan sehebat sekarang masih memerlukan framing seperti itu? Saya rasa tidak. Sebab ketika framing atas sesuatu begitu massif dilakukan, itu bisa saja menandakan bahwa sedang terjadi gejala rasa kurang percaya diri pada kita.

Saya percaya dan yakin dengan kelebihan dan pencapaian demi pencapaian yang telah diraih madrasah selama ini meskipun memang ada hal lain yang masih belum sempurna. Dan keadaan belum sempurna itulah yang justru harus dijadikan alasan untuk bersedia menerima saran, masukan bahkan teguran.

Selamat atas karyanya siswa-siswi MAN 4 Kebumen. Selama datang Fajar Baru di Bumi Semondo. Semoga berkah dan manfaat.

*Penulis adalah kontributor luar pagar dan orang biasa yang terbiasa dengan kebiasaan yang biasa-biasa saja

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *