Semangat memperingati bulan kelahiran Nabi Saw atau Maulid Nabi hampir merata di seluruh Indonesia. Berbagai acara dilakukan dalam rangka memperingati dan mengenang kelahiran nabi agung yang merupakan nabi terakhir dari tradisi kenabian yang diyakini dalam Islam. Salah satu kegiatan yang paling sering dilaksanakan adalah mengadakan pengajian dengan menghadirkan tokoh agama. Ada juga pembacaan salawat, pemberian santunan dan lain sebagainya.

Biasanya, dalam acara pengajian, tokoh agama yang diundang dan didapuk sebagai pemateri utama atau penceramah banyak membahas tentang alasan di balik lahirnya nabi, keutamaan beliau, akhlak beliau dan motivasi untuk selalu mengikuti dan meneladani ajaran dan akhlaknya. Hanya saja motivasi untuk meneladani nabi lebih banyak diarahkan pada masalah-masalah ibadah mahdlah seperti salat, puasa, zakat, ibadah mu’amalah seperti menyantuni anak yatim, fakir miskin dan ibadah-ibadah fadhilah seperti memperbanyak membaca salawat dan semacamnya.

Tema-tema ibadah, baik mahdlah, mu’amalah serta fadhilah semacam itu masih menjadi topik primadona para penceramah saat mereka mengisi pengajian maulid. Memang tidak salah membahas tema-tema tersebut. Hanya saja ada tema lain yang sangat jarang dibahas meskipun tema tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terlaksananya tiga jenis ibadah di atas. Tema tersebut adalah masalah perusakan dan pencemaran ekologi atau lingkungan.

Isu rusaknya lingkungan merupakan isu yang sudah menjadi kajian para ilmuan di seluruh dunia. Pemanasan global, pencemaran sungai dan lautan yang merusak ekosistem di dalamnya, pencemaran dan rusaknya sumber mata air akibat perusakan hutan dan semacamnya selalu luput dari kajian para penceramah. Nampaknya ada asumsi yang berkembang bahwa tema-tema lingkungan merupakan kajian para akademisi, pemerintah, Walhi dan organisasi lain yang memiliki konsens pada lingkungan.

Asumsi tersebut jelas keliru. Apalagi jika yang punya anggapan demikian adalah para penceramah tadi. Seharusnya isu perusakan dan pencemaran lingkungan merupakan tanggung jawab bersama. Berbagai kajian dan penelitian ilmiah sudah banyak dilakukan selama ini menunjukkan bahwa kondisi bumi dan lingkungan kita sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Hasil kajian dan penelitian tersebut perlu mendapatkan dukungan kuat, salah satunya dari para tokoh agama atau penceramah.

Dalam riwayat Abu Daud disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Takutlah kalian pada tiga hal yang terlakna; buang air besar di sumber air, di tengah jalan, dan tempat berteduh.”

Jika diperhatikan, tiga perbuatan yang disebutkan dalam hadis di atas merupakan bentuk pencemaran lingkungan dan perbuatan tersebut tidak saja disebut merusak oleh Nabi melainkan sudah sampai pada tindakan ‘terlaknat’ (al-malá). Dalam menjabarkan hadis tersebut, Imam al-Munawi dalam karyanya, Faydhu al-Qadir, menjelaskan bahwa jalanan, tempat berteduh dan termasuk sumber air merupakan ruang publik. Artinya, kita dilarang bahkan dilaknat merusak, mengotori dan mencemari lingkungan yang menjadi sarana publik mendapatkan hak-hak mereka.

Meskipun para ahli fikih menilai tindakan mencemari dan merusak lingkungan sebagai tindakan yang makruh, namun berbeda dengan pendapat ulama lainnya. Imam al-Qudamah, kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah misalnya menilai, bahwa tindakan mencemari dan merusak ekologi yang menjadi sarana bagi publik mendapatkan hak-hak mereka adalah perbuatan haram.

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, saat ini kita perlu menimbang potensi madharat dan mafsadat dari perbuatan merusak dan mencermari lingkungan. Jika para fuqaha menilai makruh perbuatan tersebut dengan alasan melanggar etika, namun situasi dan kondisi saat ini mengharuskan kita untuk menetapkan bahwa perusakan dan pencemaran lingkungan tidak bisa lagi dipandang sebagai pelanggaran etika semata. Hemat penulis, perbuatan tersebut harus ditempatkan sebagai tindakan perusakan berat karena dampak yang ditimbulkan menyebabkan terancamnya kehidupan manusia yang pada akhirnya juga berdampak pada terganggunya aktivitas ibadah.

Karena itu, momentum maulid ini harus sudah seharusnya dijadikan sebagai momen menggugah kesadaran kita untuk meneladani dan melaksanakan anjuran Nabi Saw terkait dengan kepedulian kita pada masalah ekologi. Penceramah juga seharusnya mulai mengembangkan wawasan mereka agar tema ceramahnya tidak melulu soal perlunya membaca salawat, tapi juga mengorganisir umatnya untuk mulai peduli pada masalah ekologi.   

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *